DEMOCRAZY.ID - Pengakuan publik figur Soimah Pancawati atau Soimah yang didatangi petugas pajak yang membawa debt collector, menjadi viral.
Soimah menyebut dirinya diperlakukan seperti maling oleh petugas pajak terkait penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak pada Maret 2023.
Namun Staf Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Yustinus Prastowo, menepis hal tersebut, seraya mengatakan tak ada perlakuan tidak menyenangkan seperti yang diungkapkan oleh Soimah tersebut.
Bahkan, dia mengatakan petugas pajak yang dimaksud justru memperlakukan Soimah dengan santun dan sabar.
Siapa yang benar? Berikut pernyataan Soimah dan Kemenkeu soal perlakuan petugas pajak.
1. Soal Debt Collector
Dalam perbincangan dengan budayawan Butet Kertarajasa di channel YouTube Blakasuta, Soimah juga mengungkap sikap oknum petugas pajak yang mendatangi rumahnya di Jogja bersama debt collector.
Dia dituding sengaja menghindari petugas pajak dengan selalu tidak ada di rumah, padahal Soimah memang sedang bekerja di Jakarta.
"Jadi posisi saya sering di Jakarta, di rumah alamat KTP kan ditempat mertua saya, selalu didatangi, bapak selalu dapat surat, bapak kan kepikiran, enggak ngerti apa-apa," kata Soimah.
"Akhirnya datang orang pajak ke tempat kakak saya, bawa debt collector, bawa dua, gebrak meja, itu di rumah kakak saya," lanjutnya.
Walaupun menyayangkan tindakan oknum petugas pajak tersebut, Soimah mengatakan dirinya tetap taat bayar pajak.
"Soimah enggak bakal lari kok, bisa dicari, jangan khawatir, bayar pasti bayar, tapi perlakukan lah dengan baik," ucap Soimah.
Terkait debt collector ini, Juru Bicara Kemenkeu Yustinus Prastowo, mengatakan, petugas pajak yang membawa debt collector hingga masuk rumah Soimah dan melakukan pengukuran pendopo, termasuk pengecekan detail bangunan, itu adalah kegiatan normal.
Bahkan, kata dia hal itu didasarkan pada surat tugas yang jelas.
"Kantor Pajak menurut UU sudah punya debt collector, yaitu Juru Sita Pajak Negara (JSPN). Mereka bekerja dibekali surat tugas dan menjalankan perintah jelas: ada utang pajak yang tertunggak," kata Prastowo dalam keterangannya, Sabtu (8/4/2023).
Prastowo juga menjabarkan, petugas pajak yang mendatangi rumah Soimah itu tidak asal-asalan.
Kata dia, pembangunan rumah tanpa kontraktor dengan luas di atas 200 m2 itu, terutang PPN 2 persen dari total pengeluaran.
"UU mengatur ini justru untuk memenuhi rasa keadilan dengan konstruksi yang terutang PPN. Petugas pajak bahkan melibatkan penilai profesional agar tak semena-mena. Maka kerjanya pun detail dan lama, tak asal-asalan," tegas dia.
2. Nilai bangunan pendopo
Dalam pengakuan lainnya, Soimah juga membeber terkait pembangunan pendopo yang saat itu belum selesai dibangun, dimana tujuannya untuk mewadahi para seniman, juga tak luput dari penilaian pajak.
"Ini pendopo belum jadi, udah dikelilingi sama orang pajak. Didatangi, diukur, dari jam 10.00 pagi sampai jam 05.00 sore, ngukuri pendopo," ujar Soimah.
"Ini tuh orang pajak atau tukang? Kok ngukur jam 10.00 pagi sampai 05.00 sore, arep ngopo (mau ngapain)," ungkap perempuan kelahiran Pati, 43 tahun silam ini.
Soimah lalu membeber nilai appraisal dari petugas pajak tersebut yang hampir Rp 50 miliar.
"Padahal saya bikin aja belum tahu total habisnya berapa," lanjutnya.
Saat tahu pendopo yang dibangunnya dinilai hampir Rp 50 miliar, Soimah merasa bingung, antara sedih atau senang.
"Di sisi lain saya sedih, kok bisa begitu, di sisi lain saya senang. Senangnya gini, kalau itu laku Rp 50 miliar, tukunen, aku untung nanti aku baru bayar pajak, tukunen nek payu Rp 50 miliar," ucap Soimah.
Terkait hal ini, Prastowo mengungkap nilai yang berbeda.
Menurutnya, pendopo milik Soimah itu diprediksi senilai Rp 4,7 miliar justru nilai itu lebih kecil dari jumlah yang diklaim Soimah senilai Rp 50 miliar.
"Hasilnya, nilai bangunan ditaksir Rp 4,7 M, bukan Rp 50 M seperti diklaim Soimah. Dalam laporannya sendiri Soimah menyatakan pendopo itu nilainya Rp 5 M," jelasnya.
Kata dia, dari total nilai bangunan itu 2 persennya belum dilakukan tindak lanjut, artinya sama sekali belum ditagihkan.
"Penting dicatat, kesimpulan dan rekomendasi petugas pajak tersebut bahkan belum dilakukan tindak lanjut. Artinya PPN terutang 2 persen dari Rp 4,7 M itu sama sekali belum ditagihkan," paparnya.
3. Terkait diperlakukan seperti koruptor
Dalam pengakuan yang lain, Soimah mengungkap perlakuan petugas pajak yang menganggap dia seperti seorang koruptor.
Seperti ketika dia ditanya masalah nota-nota pembelian.
Persoalan nota ini terkadang membuat Soimah dan suaminya bertengkar, karena suami Soimah yang bertugas mengumpulkan nota-nota untuk laporan pajak.
"Setiap tahun saya padu (bertengkar) sama suamiku, kan suamiku yang ngurusin, nyatet (mencatat), kan dia," kata Soimah dikutip dari YouTube Blakasuta.
"Kalau aku ditanyain 'ini mana notanya?' Aku stres ngurusi nota, uripku (hidupku) kok setiap tahun ngurusi nota buat pajak aja. Semua harus pakai nota, otakku masak buat ngurusi nota terus," imbuhnya.
Ada beberapa kejadian yang menurutnya tak masuk akal terkait nota.
Seperti ketika dia mengeluarkan uang untuk keluarganya, Soimah diminta untuk menunjukkan nota.
"Waktu itu awal-awal sukses, kalau punya banyak uang, tugas saya pertama membahagiakan, membantu keluargaku, masak bantu keluarga enggak boleh, dijaluki (dimintain) nota mas," ucap Soimah.
"Lha masak aku bantu saudara-saudara pakai nota. Jadi enggak percaya, 'masak bantu saudara segini besarnya, 'yo sak karepku to," lanjutnya.
Begitu juga ketika Soimah membeli rumah dengan harga Rp 430 juta, yang juga dicurigai oleh oknum petugas pajak.
"Udah lunas lah Rp 430 juta, ke notaris, enggak deal dari perpajakan, karena enggak percaya, rumah di situ harusnya Rp 650 juta, menurut pajak," kata Soimah.
"Tapi kan aku tuku Rp 430 juta. Jadi dikira saya menurunkan harga, padahal deal-dealan ada, nota ada. 'Enggak mungkin, masak Soimah beli rumah Rp 430 juta', emang ada ukurannya Soimah harus beli rumah harga berapa miliar gitu?" imbuhnya.
Karena terus diperlakukan dengan kecurigaan seperti itu, Soimah mengaku heran.
"Saya kan menjelaskan saya pekerja seni, yang mau dicurigai apa?" ujar Soimah.
Bahkan lawakannya di panggung saat dia memerankan karakter orang kaya dan pamer kekayaan, juga menjadi bahan kecurigaan oknum petugas pajak.
"Di Dagelan aku sering jadi juragan, karena image-nya sombong, kaya, namanya dagelan, beli gunung, buat bandara, namanya lawakan. Ketika 2015 orang pajak datang, dikira pom bensin punya Soimah, gunung, bis punya Soimah," tuturnya.
"Silakan dicek, disangka aku nanti pencucian uang. Kok uang tak cuci, mending tak pakai sendiri," imbuhnya.
Menanggapi hal ini, Prastowo mengatakan, pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Bantul dinilai tidak sembarangan menggunakan kewenangannya.
Bahkan, petugas itu hanya mengingatkan dan menawarkan bantuan jika Soimah kesulitan.
"Ternyata itu dianggap memperlakukan seperti maling, bajingan, atau koruptor. Hingga detik ini pun meski Soimah terlambat menyampaikan SPT, KPP tidak mengirimkan teguran resmi, melainkan persuasi," tegasnya. [Democrazy/Tribun]