DEMOCRAZY.ID - Nama-nama calon presiden (capres) untuk 2024 sudah diumumkan, terbaru adalah PDIP yang mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai capres.
Sebelumnya ada mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, lalu Prabowo Subianto yang kini Menteri Pertahanan, dan Airlangga Hartarto Menko Perekonomian.
Menanggapi hal tersebut Direktur CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan para capres ini memiliki segudang PR yang harus diselesaikan atau dibenahi.
Mulai dari kemiskinan yang masih tinggi. Saat ini secara rata-rata nasional masih berada di angka 9,57%.
Lalu dari data 2022 atau masih ada sekitar 26,3 juta orang miskin di Indonesia.
Kemiskinan ini terjadi karena masih belum meratanya akses pendidikan, kesehatan dan infrastruktur juga dipengaruhi kebijakan perlindungan sosial yang rendah dibanding negara tetangga.
“Berdasarkan data OECD, porsi belanja perlindungan sosial terhadap PDB Indonesia hanya mencapai 3%, sementara Malaysia 5,5%, Thailand 6,4%, dan Vietnam 7,6%.
Bahkan dibandingkan dengan Sri Lanka yang mencapai 4,4% saja Indonesia tertinggal,” kata dia saat dilansir dari laman detikcom, Sabtu (22/4/2023).
Kemudian yang harus dibenahi adalah masalah ketimpangan. Di mana jurang si kaya dan si miskin di Indonesia semakin lebar.
Menurut dia orang kaya di Indonesia tidak saja menguasai 46% total konsumsi nasional tapi juga secara harta kekayaan tumbuh 61,6% selama pandemi.
“Ini berarti mode pembangunan yang ada saat ini hanya menyuburkan ketimpangan. Semakin lebar ketimpangan risiko stabilitas politik makin rentan,” ujarnya.
Tak cuma itu, yang harus dibereskan adalah bagaimana caranya Indonesia lepas dari ketergantungan sumber daya alam (SDA). Dia menyebut cara pandang Indonesia dari SDA harus diubah.
Memang pada 2021-2022 ada bonanza komoditas batu bara dan sawit, tapi gejala penurunan harga komoditas sudah mulai terasa.
Tahun 2024 dikhawatirkan presiden terpilih sudah tidak menikmati boom komoditas ekspor sehingga harus mulai cari strategi lepas dari ketergantungan komoditas.
Kemudian adalah mengurangi beban utang proyek mercusuar era Jokowi. Siapapun presiden yang akan terpilih punya pr penting soal manajemen risiko proyek seperti IKN dan kereta cepat.
“Dengan beban bunga utang negara diproyeksikan mencapai Rp 485 triliun- Rp 530 triliun pada 2024 presiden yang baru sah-sah saja misalnya untuk tunda pengerjaan proyek yang terlalu memakan APBN,” jelas Bhima.
Lalu ada lagi, inflasi yang masih cenderung tinggi diperkirakan 4-5% pada awal pemilihan capres 2024.
Inflasi berisiko membuat daya beli masyarakat terpukul, dan membuat pertumbuhan ekonomi terganggu. Capres harus kasih solusi bagaimana inflasi bisa ditekan di bawah 3% paska pandemi.
Sedangkan dari sisi energi, biaya transisi ini perlu jadi bagian program kerja utama capres karena berkaitan dengan kesuksesan ekonomi dan lingkungan.
Diperkirakan kebutuhan dana untuk transisi energi mencapai Rp 3.500 triliun termasuk pensiun PLTU batubara hingga investasi di EBT. Model pembiayaan alternatif perlu dipercepat.
Managing Director PEPS Anthony Budiawan menambahkan tantangan ekonomi Indonesia ke depan akan cukup berat. Pada dua tahun terakhir ekonomi Indonesia selamat karena harga komoditas.
“Sekarang kan sudah mulai turun. Defisit transaksi berjalan berpotensi membesar lagi dan defisit APBN juga berpotensi melebar,” jelas dia.
Masalah-masalah seperti kemiskinan, korupsi dan keadilan sosial menjadi tantangan untuk presiden 2024.
“Apa yang bisa dilakukan para capres tersebut untuk mengatasi permasalahan sosial dan korupsi tersebut? Selain itu, bagaimana mengatasi kasus dugaan pencucian uang? Apakah akan menguap, dan semakin merajalela?,” jelasnya. [Democrazy/HajiNews]