DEMOCRAZY.ID - Anggota Komisi III DPR RI, Syarifuddin Sudding, menyinggung nilai Rp 189 triliun dari Rp 349 triliun di transaksi janggal. Sudding mengungkit kasus cukai emas yang dinilainya belum selesai ditangani.
"Ada satu hal saya ingin konfirm ke Bu Sri terkait Rp 189 T tentang masalah emas, ini tadi dijelaskan juga antara PPATK, Dirjen Pajak, dan Bea Cukai ada Intelijen Join Analysis Tripartit, artinya sejak 2007 sudah ada kerja sama antar-3 lembaga ini, yang dikenal dengan Intelijen Join Analysis Tripartit," kata Sudding dalam Rapat Komisi III DPR, Selasa (11/4/2023).
"Terkait masalah emas karena Rp 189 T sepertinya belum tuntas ya Bu, meski sudah ada keputusan tetap dari pengadilan tapi masih ditindaklanjuti dengan peralatan-peralatan hukum yang terbuka untuk itu," lanjut Sudding.
Sudding mengatakan ada 14 entitas yang terlibat dalam nilai Rp 189 triliun ini.
Rinciannya, 9 entitas berupa wajib pajak berupa korporasi dan 5 entitas wajib pajak berupa orang pribadi.
"Ada 14 entitas, ada 9 entitas wajib pajak berupa badan dan 5 entitas wajib pajak orang pribadi. Dari hasil analisis yang dilakukan 3 lembaga; pajak, bea cukai, PPATK, itu ditemukan ada 5 wajib pajak perorangan dengan inisial SB, LB, DY, HG dan DL. Ini WP perorangan Pak Kabareskrim," tutur Suding.
Dia kemudian menyebut inisial entitas wajib pajak korporasi. Sudding mengatakan sejauh ini 2 wajib pajak perorangan terlepas dari tuntutan hukum, sedangkan 2 perusahaan korporasi terbukti denda.
"Dalam bentuk korporasi ada 8 perusahaan, PT BSI, PT IKS, PT IKH, PT LM, PT TU, Sumber SHS, GSA, dan SJU ini," kata Sudding.
"Ada pertanyaan kita bahwa dari perusahaan-perusahaan ini, tadi disebutkan oleh Bu Menteri, 2 perorangan dinyatakan lepas dari tuntutan hukum, dan 2 perusahaan terbukti denda, katakanlah seperti itu," ungkapnya.
Sudding menilai masih ada WP perorangan dan WP korporasi yang belum mempertanggungjawabkan hal tersebut.
Menurutnya mudah bagi Kabareskrim hingga Jampidum untuk menelusuri illegal mining di transaksi Rp 189 triliun.
"Akan tetapi, ketika Pak Kabareskrim, Pak Jampidum, atau KPK lewat APH menelusuri tentang illegal mining ini sangat mudah Pak, dari mana mereka dapatkan emas yang diekspor dalam bentuk perhiasan dan bahan bakunya masuk ke dalam negeri yang tidak sebanding ekspornya dengan impornya," tutur Sudding.
"Apakah dapat dari peti-peti katakan koridor yang bermain di tambang emas ini kan sangat mudah. Saya dorong ini Pak APH untuk menelusuri, ini ada 9 entitas perusahaan yang saya sebutkan tadi, saya ambil inisial, Pak," sambungnya.
Sudding tak ingin membeberkan secara rinci nama perusahaan yang terlibat.
Namun dia menyatakan nama perusahaan hingga orang yang terlihat ada di ruang rapat bersama Komisi III.
"Saya ambil inisial, Pak, karena ini saya juga masih anu (terbatas) pasal 11 tentang UU Nomor 8 ini, tapi nama perusahaan dan orangnya ada di sini, Pak. Saya tahu ada namanya, kalau Pak Kabareskrim ini (mau) saya kasih. Supaya dipanggil ini 9 perusahaan dan 5 orang WP," ungkap Sudding.
"Saya kira lebih tepat kalau diselesaikan lewat hak angket dengan membentuk pansus. Gimana Kabareskrim? Setuju Menkopolhukam bentuk angket? Dengan pansus supaya ini kita bisa lakukan penyelidikan Rp 349 dan Rp 189 T," ujarnya yang disambut acungan jempol Mahfud.
Sebelumnya, kasus cukai emas ini pernah disinggung Mahfud di rapat Komisi III DPR, Rabu (29/3/2023).
Mahfud menyeret nama Sekjen Kemenkeu Heru Pambudi yang saat itu menjadi Dirjen Bea dan Cukai.
Mahfud menjelaskan soal temuan Rp 189 triliun itu merupakan dugaan pencucian uang di lingkungan bea cukai dengan 15 entitas terkait impor emas batangan.
Surat cukai itu diduga dimanipulasi dengan keterangan 'emas mentah', padahal sudah berbentuk emas batangan.
"Impor emas batangan yang mahal itu tapi di surat cukainya itu emas mentah. Diperiksa PPATK, diselidiki 'bagaimana kamu kan emasnya udah jadi, kok bilang emas mentah?' 'Enggak, ini emas mentah tapi dicetak di Surabaya', dicari ke Surabaya nggak ada pabriknya. Itu menyangkut uang miliaran tapi nggak diperiksa," kata Mahfud.
Mahfud menerangkan, dugaan pencucian uang itu diserahkan PPATK langsung dengan data laporan. Penyerahan dilakukan pada 13 November 2017.
"Di sini kasus mengenai tadi yang Rp 189 triliun ini tidak bisa diserahkan dengan surat karena sensitif. Oleh sebab itu, diserahkan by hand per tanggal 13 November 2017," ujarnya.
Mahfud juga mengatakan sejumlah nama yang menerima laporan PPATK, mulai Heru Pambudi yang saat itu menjabat Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Sumiyati yang saat itu menjabat Inspektur Jenderal Kemenkeu, kemudian ada dua nama lain dari Inspektorat Jenderal Kemenkeu dan Ditjen Bea dan Cukai.
"Ini yang serahkan Ketuanya Pak Badaruddin, Pak Dian Ediana, kemudian Heru Pambudi dari Dirjen Bea Cukai, lalu Sumiyati Irjennya. Ini ada tanda tangan semua nih bahwa 2013 kasus ini masuk," tutur Mahfud.
Respons Heru Pambudi
Heru pun buka suara soal ini. Dia menjelaskan, saat dia menjabat Direktur Jenderal Bea dan Cukai, ada kiriman dokumen dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) soal transaksi Rp 189 triliun. Heru mengaku dokumen dari PPATK tersebut sudah ditindaklanjuti.
"Sebelumnya, di 2017, ada rapat koordinasi dalam bentuk gelar perkara mengenai pengawasan komoditi emas, saya hadir di situ dan ada absennya. Saya hadir bersama Ibu Sumiyati (eks Irjen Kemenkeu) dan dua orang lainnya," kata Heru dalam konferensi pers di Kantor Kemenkeu Jakarta Pusat, Jumat (31/3/2023).
Rapat tersebut intinya membahas mengenai penguatan yang diperlukan dalam gelar perkara untuk pengawasan komoditi emas, baik impor maupun ekspor.
"Kita bentuk tim teknis yang dikerjakan yaitu pertama pendalaman dan pengawasan administrasi kepabeanan. Kedua pajak, ketiga TPPU-nya (tindak pidana pencucian uang) sendiri, itu yang kita tindaklanjuti dari hasil gelar perkara di 2017," terang Heru. [Democrazy/detik]