DEMOCRAZY.ID - Pemerintah Indonesia tengah putar otak akibat bengkaknya biaya proyek atau cost overrun Kereta Api Cepat Jakarta Bandung (KCJB) sebesar US$ 1,2 miliar.
China pun mematok bunga utang sebesar 3,4% jauh lebih tinggi dari harapan pemerintah 2%.
Di samping itu, China juga meminta anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebagai jaminan dari pinjaman utang proyek itu, yang diberikan China Development Bank sebesar US$560 juta atau Rp8,3 triliun untuk membiayai cost overrun yang besarannya setara Rp 17,8 triliun.
Dengan kondisi ini, apakah sudah menjadi pertanda Indonesia masuk ke dalam jebakan utang China seperti Sri Lanka hingga Maladewa?
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menjelaskan, sebetulnya ada kesamaan pola jebakan utang antara yang kini tengah dialami Indonesia dengan yang dialami Sri Lanka melalui proyek Pembangunan Pelabuhan Internasional Hambantota.
"Ada kemiripan pola jebakan utang atau debt trap kereta cepat dengan Pelabuhan Hambatonta di Sri Lanka," kata Bhima kepada CNBC Indonesia, Jumat (14/4/2023)
Salah satu pola yang cukup menonjol, menurutnya ihwal pembengkakan biaya proyek, sehingga kreditur memberikan tambahan utang dengan syarat jaminan dari APBN Sri Lanka. Pihak pengelola juga meminta perpanjangan waktu penguasaan proyek.
"Dalam kasus Pelabuhan Hambatonta konsesi diberikan ke China selama 99 tahun. Kereta Cepat kan minta 80 tahun konsesi nya," tuturnya.
Pola berikutnya soal kemampuan bayar utang yang menurut Bhima memberikan risiko bagi keuangan negara.
Begitu proyek berjalan, biaya operasional juga tidak bisa ditanggung oleh pemerintah, yang berakibat pada tambahan utang.
"Jadi utang yang menggunung dan menekan fiskal adalah strategi jebakan utang. Dari awal pemerintah sudah diingatkan bahwa proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tidak feasible secara kalkulasi. Tapi terus dipaksakan yang berakibat skenario jebakan utang makin nyata," tuturnya.
Kepalang tanggung, langkah antisipasi supaya jebakan ini tidak semakin menguras keuangan negara kata Bhima adalah menolak APBN sebagai agunan, dan penyelesaian cost overrun harus melalui skema business to business murni tanpa bantuan pemerintah.
"ang menanggung pembengkakan biaya harusnya kreditur China, jangan mau ditanggung APBN," tegas dia.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE Indonesia) Yusuf Rendy Manilet menganggap, Indonesia betul-betul memasuki jebakan utang China bila pengelolaan proyek tak kunjung membuahkan pendapatan.
Ini katanya terjadi seperti di Maladewa dalam proyek China-Maldives Friendship Bridge dan proyek infrastruktur lainnya.
"Kalau kita melihat dari pelajaran yang diberikan oleh Sri Lanka dan Maladewa, kedua negara ini kemudian terjebak dalam jebakan utang karena proyek yang tadinya dibiayai oleh Cina ini kemudian tidak berfungsi secara optimal," tegasnya.
Karena proyek yang dibangun tidak berfungsi secara optimal mengharuskan mereka mencari cara untuk membayar pokok dan bunga utang dari pinjaman China untuk proyek tersebut.
Sayangnya cara yang ditempuh pun bermuara kepada keputusan menjual proyek yang telah dibangun ke China.
Yusuf mencontohkan, kondisi ini seperti yang terjadi untuk proyek Bandar Udara Internasional Kertajati. Bandara itu sepi pengguna sejak resmi beroperasi pada 2018.
Padahal memiliki kapasitas total hingga 29 juta penumpang setiap tahun dengn total investasi mencapai Rp2,6 triliun
Proyek KCJB menurutnya bukan tidak mungkin sepi peminat, karena jalur kereta cepat ini dilalui juga oleh jalur transportasi lain, seperti transportasi bys yang menggunakan jalan tol untuk ke pusat kota Bandung tanpa harus transit.
Selain itu, keamanan juga menjadi sorotan karena dalam proses uji coba, rel KCJB sempat membuat kereta teknis kecelakaan pada 19 Desember 2022.
"Sehingga langkah yang kemudian bisa dilakukan adalah ketika proyek ini telah berjalan untuk memastikan bahwa Indonesia terutama untuk proyek kereta cepat api ini tidak tergelincir pada lubang yang sama seperti yang dialami oleh Sri Lanka dan juga Maladewa," tuturnya. [Democrazy/CNBC]