DEMOCRAZY.ID - Proses pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) merupakan salah satu implementasi dari demokrasi yang dianut oleh Republik Indonesia.
Dalam proses pelaksanaanya, tentu pemilu selalu diwarnai beragam cerita yang menjadi sejarah bagi perjalanan bangsa. Termasuk cerita mengenai polarisasi politik pada pemilu 2019.
Sebagaimana yang diketahui, pada pemilu 2019 konstelasi politik nasional terpolarisasi pada dua belah pihak yang kemudian santer dikenal dengan “cebong” dan “kampret.”
Polemik mengenai “cebong” dan “kampret” ini kemudian muncul ditengah-tengah publik yang menghadirkan kontestasi politik yang dinilai tidak sehat, karena selalu diselimuti kebencian satu sama lainnya.
Bahkan tak jarang kita mendengar melalui surat-surat kabar, media online atau sosial media mengenai aksi-aksi persekusi, pemukulan, pelarangan dan berbagai macam hal lainnya.
Dengan gambaran pemilu 2019 yang seperti itu, kemudian memunculkan kembali kekhawitaran publik ketika akan berhadapan dengan kontestasi politik di pemilu 2024 mendatang.
Salah satu yang menjadi kekhawitaran publik adalah mengenai mencuat politisasi agama atau apapun yang berbau sara.
Hal ini kemudian berpotensi menimbulkan perpecahan ditengah-tengah publik.
Lantas benarkan hal-hal serupa yang pernah terjadi pada pemilu 2019 akan terulang kembali atau bakal lebih parah di pemilu 2024 mendatang?
Seorang konsultan politik Eep Saefulloh menyampaikan pandangannya mengenai konstelasi politik di pemilu 2024 mendatang.
Dia bersama dengan lembaga survei Polmark telah melakukan survei di 78 daerah pemilihan dimana setiap dapilnya terdapat 800 responden.
“Nah yang saya lihat antara lain adalah, yang lebih mencemaskan sekarang itu adalah keadaan hidup sehari-hari orang, itu sangat mencemaskan,” ucap Eep Saefulloh dikutip dari kanal Youtube Helmy Yahya Bicara, Senin, 10 April 2023.
Berdasarkan keterangannya, 60 sampai 70 persen orang di berbagai tempat mengaku pendapatan atau penghasilannya turun dan 50-60 persen orang mengaku ekonomi keluarganya memburuk. Sedangkan 30-40 persen orang mengaku kehilangan pekerjaan.
Selain itu dari jawaban responden yang disurvei menunjukkan bahwa persoalan yang harus diselaikan adalah, pertama persoalan kemiskinan kemudian yang kedua adalah kebutuhan pokok yang tidak terjangkau.
Sedangkan isu nomor tiga dan nomor empat, itu relatif berbeda diberbagai tempat, yakni persoalan korupsi dan persoalan lapangan kerja.
“Jadi empat isu utama itu adalah kemiskinan, kebutuhan pokok, korupsi dan lapangan kerja itu menunjukkan pemilu yang ekonomi banget dan ekonomi sehari-hari banget. Jadi daya ledak kesulitan hidup itu harus dikelola dengan baik,” jelasnya.
Menurutnya persoalan tersebut, jika disajikan dengan isu-isu sara, maka hal tersebut seperti menyediakan api pada tumpukan kayu yang sudah disiram bensin.
Inilah yang membedakan antara pemilu 2024 dengan pemilu sebelumnya, karena sebelumnya tidak ada pandemi dan resesi.
Sehingga ketika politik sara dimainkan, maka ini akan menciptakan daya ledak yang sangat riskan di pemilu 2024 mendatang. [Democrazy/HH]