DEMOCRAZY.ID - Pembunuhan misterius - biasanya disingkat 'petrus' - terjadi di sejumlah kota besar di Indonesia pada periode 1982-1985. Rangkaian peristiwa ini telah diakui negara sebagai pelanggaran HAM berat karena lebih dari 1.000 orang yang dicap preman dibunuh tanpa diadili terlebih dulu. Di Yogyakarta, operasi ini dipimpin militer.
Ibu dua anak itu terlihat gelisah memikirkan suaminya yang sudah beberapa hari tak pulang. Dia waswas Kentus — julukan suaminya — mati dibunuh.
Wahyu Handayani, nama perempuan itu, khawatir Kentus menjadi korban operasi pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap meresahkan masyarakat.
Saat itu di Yogyakarta, pada1983, nyaris tiap hari ditemukan mayat tak dikenal yang tergeletak di jalanan.
Mereka dicap sebagai gali, akronim gabungan anak liar untuk mengistilahkan orang-orang bertato yang melakukan kejahatan.
Ketika itu, sebagian orang yang dicap sebagai penjahat mati, dibunuh — tanpa pernah diadili — karena dianggap meresahkan masyarakat.
Mayatnya biasanya diletakkan di jalanan atau dibuang di hutan. Kondisi tangannya biasanya terikat dan atau dibungkus karung.
Inilah yang membuat Wahyu gelisah. Apalagi pagi itu salah seorang tetangganya tergopoh-gopoh memperlihatkan satu berita di surat kabar.
"Bu Nuk, Pak Kentus masuk koran Kompas," cetus sang tetangga. Adapun Bu Nuk adalah panggilan akrab Wahyu, istri Kentus.
Jari jemari Wahyu kontan gemetar saat membaca judul berita koran pagi itu.
"Tiga warga Yogyakarta pergi melarikan diri ke Jakarta," kata Bu Nuk, mencoba mengingat lagi peristiwa 40 tahun silam, kepada wartawan di Yogyakarta, Furqon Ulya Himawan, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Dari pemberitaan itu, Bu Nuk baru tahu, suaminya bersama dua warga Yogyakarta lainnya, Monyol dan Mantri, berada di Jakarta untuk mengadu ke kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Tiga orang ini, termasuk Kentus, dicap oleh aparat keamanan sebagai penjahat yang harus dihabisi. Inilah yang melatari mereka berangkat ke Jakarta.
Koran Kompas yang dimaksud Bu Nuk itu, terbit 8 April 1983. Surat kabar itu menurunkan berita di halaman tiga, berjudul: Tiga Penduduk Yogya Mengadu ke LBH Jakarta.
Mereka pergi ke ibu kota saat Garnisun Yogyakarta menggelar Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) dengan target orang-orang yang dicap preman atau di Yogyakarta dikenal sebagai gali — akronim dari "gabungan anak liar".
Kelak peristiwa kekerasan ini, yang terjadi pula di beberapa kota besar di Jawa, disebut sebagai 'penembakan misterius' alias 'petrus'.
Operasi tertutup, yang digelar antara 1982 dan 1985 ini, menargetkan orang-orang yang dicap sebagai penjahat. Nantinya, pemerintahan Suharto mengakui berada di balik operasi yang menewaskan lebih dari 1.000 orang itu.
Setelah Reformasi 1998, muncul tuntutan kepada pemerintah untuk mengusut tuntas kasus petrus karena dianggap melanggar hak asasi manusia.
Komnas HAM kemudian memutuskan melakukan penyelidikan kasus ini mulai 2008 hingga 2012, antara lain mewawancarai penyintas dan keluarganya, serta mendatangi lokasi pembunuhan. Temuan mereka menguatkan ada pelanggaran HAM berat.
Mereka lantas menyampaikan temuannya kepada Kejaksaan Agung untuk menindaklanjutinya. Namun ini tidak pernah direalisasikan dengan berbagai alasan.
Dan barulah pada akhir Desember 2022 lalu, Presiden Joko Widodo, atas nama negara, mengakui dan menyesalkan 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, termasuk kasus pembunuhan misterius 1982-1985.
Presiden berjanji menyelesaikannya tanpa melalui proses hukum, walau tak menutup upaya hukumnya, dengan menyiapkan sejumlah program, seperti pemulihan terhadap para korban.
Kebijakan ini sesuai rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) yang sebelumnya dibentuk oleh Presiden.
Kira-kira tiga bulan setelah Presiden Jokowi — atas nama negara — mengakui kasus petrus sebagai pelanggaran HAM berat, Bu Nuk agaknya lebih leluasa mengisahkan ulang nasib suaminya.
"Awalnya saya tidak tahu kalau bapak ke Jakarta. Wong bapak punya prinsip 'pergi jangan sampai ada yang tahu ke mana pergi'," ungkap Bu Nuk, istri Kentus, yang kini berusia 64 tahun.
Sejumlah media massa saat itu menyebutkan, Rusdi alias Monyol, Rus Amantri, dan Trimurdjo alias Kentus, mengadukan nasibnya ke LBH Jakarta.
Mereka mengaku merasa terancam akibat operasi pemberantasan gali yang dilancarkan Garnisun Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Ketika itu, Monyol mengaku dulunya memang gemar berkelahi, tapi tidak pernah melakukan kejahatan.
"Dan saya belum pernah melakukan kejahatan," katanya kepada Direktur LBH Jakarta, AR Saleh, yang menerima kedatangan Monyol, Mantri, dan Kentus, pada 1983.
Baik Monyol, Mantri, dan Kentus, menolak dianggap gali — istilah di Yogyakarta dan sekitarnya untuk menyebut preman — karena mengaku tidak pernah melakukan kejahatan.
Mereka juga mengatakan punya pekerjaan. Monyol mengaku kerja sebagai petugas keamanan diskotek Colombo dan tukang parkir di Jalan Solo.
Adapun Kentus mengaku menjadi petugas keamanan di SMA Bhineka Tunggal Ika dan tukang parkir di Pasar Kranggan. Sementara Amantri menjadi satpam di Shopping Centre.
"Menyerahkan diri belum tentu selamat. Tidak menyerahkan diri dianggap melarikan diri dan sewaktu-waktu bisa tertembak," kata Monyol. Itulah sebabnya mereka meminta perlindungan ke LBH Jakarta.
Mantri lalu mencontohkan, ada seseorang yang menyerahkan diri, tapi akhirnya juga ditembak, karena dituduh mau kabur ketika digelandang ke Kodim 2734.
"Kan aneh kalau orang yang menyerahkan diri berubah menjadi melarikan diri dalam perjalanan," kata Mantri, saat itu.
Kepada wartawan ketika itu, aktivis LBH Jakarta, AR Saleh, yang menerima kedatangan Kentus dan kawan-kawan, mendukung operasi penertiban oleh Garnisun DIY. Tapi dia meminta langkah itu harus tetap menghormati prinsip hukum dan menerapkan asas praduga tak bersalah.
Komandan Garnisun, yang juga Komandan Kodim 0734 Yogyakarta, Letkol CZI M. Hasbi, akhirnya memberikan jaminan kepada mereka, dengan mengirimkan surat surat keterangan No. Ktr/010/IV/1983 tertanggal 9 April 1983.
Tapi, Hasbi menuntut tiga orang itu patuh dan tidak mempersulit petugas keamanan.
Setelah mendapat jaminan, pada Selasa petang, 12 April 1983, mereka kembali ke Yogyakarta, naik kereta api, dengan didampingi Maqdir Ismail dari LBH Jakarta.
Mereka juga membuat surat pernyataan di atas kertas segel. Isinya: sepakat menyerahkan diri untuk diperiksa sesuai hukum, tidak akan melawan petugas, serta tidak kabur.
"Semoga ketiganya mendapat perlakuan yang baik, manusiawi, dan sesuai dengan alam Pancasila," harap Saleh, seperti dilaporkan harian Kompas kala itu.
Wajib ikut 'apel' di Koramil dan dibuntuti intel
Seperti kepergiannya, Bu Nuk pun saat itu tidak tahu suaminya sudah tiba di Yogyakarta, sebelum akhirnya dia membaca berita di koran.
Mereka akhirnya bertemu di halaman SMA Bhinneka Tunggal Ika, tempat suaminya bekerja sebagai petugas keamanan.
Bu Nuk mengajak dua anaknya. "Saat bapak dari Jakarta ke sini [Yogyakarta], ramai di koran. Di sekolahan ada yang baca, dan anak saya lihat," ujar Bu Nuk, mengenang.
Sekembalinya di Yogyakarta, Kentus, Monyol, dan Mantri, tidak langsung pulang ke rumah masing-masing. Mereka menginap di rumah Direktur LBH Yogyakarta, Sumarni Basyaruddin.
Dalam pemberitaan surat kabar saat itu, LBH Jakarta menyerahkan tiga orang itu kepada LBH Yogyakarta guna mendampingi proses peradilan selama mereka di Yogyakarta, dan diproses sesuai hukum yang berlaku.
"Mereka memberikan kuasa kepada LBH Yogya untuk minta perlindungan dan bantuan hukum," kata Sumarni, saat itu.
Selain Sumarni, aktivis LBH Yogyakarta yang ikut mendampingi mereka antara lain Artidjo Alkostar, Daris Purba, dan dibantu Nur Ismanto.
Didampingi sejumlah aktivis LBH Yogyakarta, Kentus dkk akhirnya bertemu Komandan Kodim 0734 Letkol CZI M. Hasbi, pada Kamis, 14 April 1983.
Selama sepekan, Kentus ditahan di Kodim, lalu dipindahkan ke Poltabes.
Saat itulah, seingat Bu Nuk, para pemilik toko di Jalan Malioboro dan Jalan Solo, dikumpulkan dan ditanya apakah mereka pernah diperas dan dimintai uang keamanan oleh suaminya. Menurut Bu Nuk, mereka menjawab "tidak pernah".
Jika para pemilik toko itu mengaku "pernah dimintai uang" oleh Kentus dkk, demikian menurut Bu Nuk, suaminya, Monyol dan Mantri bakal ditembak mati.
Kekhawatiran itu tak terbukti. Mereka akhirnya 'selamat' dari operasi 'anti gali' di Yogyakarta.
"Bapak akhirnya bebas dan terbukti tidak bersalah," ujar Bu Nuk.
Tapi, setelah bebas, ternyata persoalan belum usai. Kentus dan dua orang lainnya setiap Senin "harus apel" di Koramil.
Tempat tinggal Kentus pun masih sering "dikelilingi intel". Dan itu membuat Kentus tidak jenak tidur di rumah, aku istrinya.
"Bapak tidur di tetangga, tidak berani di rumah," kata Bu Nuk. Para tetangganya tidak pernah menjauhi atau mendiskriminasi keluarga itu.
Pro-kontra masyarakat Yogyakarta
Memiliki suami yang dicap sebagai gali, Wahyu Handayani tidak dapat menghindar dari gunjingan yang membuatnya tidak nyaman.
Suatu saat, ketika naik bus kota, dia mendengar ada beberapa penumpang yang mengeluarkan kata-kata yang "menyakitkannya", yaitu tidak keberatan apabila suaminya ditembak mati. "Daripada harus dibebaskan," ungkapnya.
Saat itu Yogyakarta tengah diramaikan kasus-kasus penembakan para gali.
Direktur LBH Yogyakarta, Sumarni Basyarauddin yang mendampingi Kentus, Monyol, dan Mantri, pun mendapat perlakuan sama. Dia bahkan mendapatkan teror di rumahnya.
Telepon rumahnya selalu berdering dan mencaci tindakan LBH yang dianggap "sok pahlawan" karena membantu tiga orang yang dicap gali itu. Mereka bahkan diancam digranat atau dilempar molotov.
Daris Purba mantan anggota LBH Yogyakarta yang ikut melakukan advokasi saat itu, mengatakan, rumah Direktur LBH sampai dilempari sesuatu yang "meledak".
Mantan anggota LBH Yogyakarta lainnya, Nur Ismanto mengatakan hal sama. Selain teror melalui telepon dan bunyi ledakan, sejumlah orang memasang spanduk di depan rumah pimpinan LBH Yogyakarta.
Tulisan yang tertera di lembaran spanduk "40 ribu masyarakat Yogyakarta menentang perlindungan terhadap gali".
Nur Ismanto mengaku, tak sedikit anggota masyarakat yang mendukung operasi pemberantasan gali oleh Garnisun.
Hal itu bisa terjadi, demikian kata Ismanto, karena sebagian "masyarakat tidak paham hukum, dan cenderung membenarkan tindakan yang dilakukan petugas OPK".
Dihadapkan ancaman seperti itu, LBH Yogyakarta memilih tetap melindungi Kentus, Monyol, dan Mantri, dari tindakan main hakim sendiri.
"Akhirnya mereka selamat, meskipun mereka juga tidak diadili karena memang buktinya tidak ada," kata Nur Ismanto.
Susah mendapat pekerjaan
Pada masa-masa itu, Bu Nuk mengaku suaminya sulit mendapatkan pekerjaan. Lamaran kerjanya selalu ditolak.
"Suami saya di-blacklist sampai enggak bisa dapat kerja," ujar Bu Nuk.
Kentus, menurut Bu Nuk, tak bisa bebas mencari kerja lantaran masih harus apel seminggu sekali. Dan itu berjalan sampai lima tahun lebih.
Setiap kali melamar pekerjaan, selalu ditolak. Kentus hanya bisa menjadi kenek bus kota dengan pendapatan yang tidak seberapa. Padahal saat itu, tiga anak Kentus sudah masuk sekolah dan butuh biaya pendidikan.
"Mau beli sepatu dan buku saja susahnya minta ampun," kenang Bu Nuk.
Pernah anak-anaknya disuruh pulang dan tidak boleh ikut ujian. Alasannya, mereka belum melunasi uang SPP.
Tak hanya itu, Bu Nuk mengaku anaknya juga mau dikeluarkan kalau sampai tidak bisa bayar.
"Keuangan kacau, utangnya banyak," kenang Bu Nuk, getir.
Demi mencukupi kebutuhan sehari-hari, Bu Nuk dan Kentus menjual nasi bungkus dan penganan gorengan.
Mereka lalu menyetorkannya ke berbagai warung angkringan di sekitar rumah. Hasilnya memang tak seberapa, tapi cukup untuk makan mereka sekeluarga.
Ketika ditanya berapa kerugian yang diderita Kentus setelah peristiwa itu, Bu Nuk tak bisa menjawab pasti. Dia terdiam dan menerawang ke langit-langit atap rumahnya.
"Anak saya empat, suami tak bisa kerja lima tahun lebih, dan hanya mengandalkan jualan gorengan di angkringan. Berapa kira-kira kerugiannya, mas?" Bu Nuk balik bertanya.
Rumah kontrakan di Kampung 'Texas'
Sejak awal sampai sekarang, Bu Nuk beserta Kentus dan empat orang anaknya, tinggal di rumah kontrakan di atas sebidang tanah yang luasnya sekitar 7x8 meter.
Rumah itu terdiri ruang tamu yang disekat jadi kamar tidur. Dan satu ruangan lagi merupakan kamar mandi. Agar cukup untuk tidur satu keluarga, Kentus membuat tempat tidur bertingkat.
"Itu kamar anak-anak," kata Bu Nuk sambil menunjuk kamar tidurnya yang bertingkat. Untuk keperluan masak, Bu Nuk melakukannya di depan rumah.
Bu Nuk kembali bertanya, kondisi rumah seperti yang mereka huni itu, apakah pantas Kentus dicap sebagai gali yang suka memeras pemilik toko?
Padahal, lanjut Bu Nuk, media selalu menyebut, ciri khas rumah seorang gali: besar dan bagus, perabotannya lengkap dan mahal, serta punya koleksi kendaraan mahal.
Dalam pemberitaan media saat itu, memang ada yang mengulas kekayaan gali yang tewas tertembak dalam OPK. Misalnya, ada gali dengan pendapatan 2,5 juta sebulan, perabotan rumah tangganya lengkap dan mahal, serta punya kendaraan motor dan mobil.
Istri Kentus ingin protes dengan anggapan itu. Dia berusaha mengubah persepsi yang menurutnya salah. "Kami tidak punya itu. Sepeda saja tidak punya. Dan ini saja cuma dua kamar," katanya sambil melihat sekeliling rumah yang dia tinggali.
Rumah Bu Nuk berdempetan dengan rumah-rumah tetangga lainnya. Jalan kampung sangat sempit, hanya cukup untuk lewat satu kendaraan.
Dari depan rumahnya, Bu Nuk bisa melihat siapa saja yang akan datang atau melewati rumahnya. Bukan paling ujung, tapi sangat strategis.
"Di sebelah sana, rumahnya Mas Monyol. Dan itu, rumah Mas Mantri," kata Bu Nuk sambil menunjuk beberapa petak rumah yang terletak di sebelah kanan rumahnya.
Dulu, menurut Bu Nuk, pada era 1980-an, nama Wahyo, Gaplek, dan Monyol, sangat disegani di Yogyakarta.
Mereka sering disebut 'Tiga Serangkai'. Dua nama yang disebut Bu Nuk di awal, sudah meninggal. Mereka tertembak peluru petugas Garnisun dalam operasi gabungan pemberantasan gali.
Sementara di tempat tinggal Bu Nuk, kampung Jlagran, juga ditakuti. Di kampung ini, ada Monyol, Mantri, dan Kentus.
"Dulu Jlagran ditakuti karena ada Mas Monyol, Mas mantri, dan bapak. Enggak ada yang berani," kata Bu Nuk.
Kadang, Wahyo dan Slamet Gaplek berkunjung ke rumahnya, menemui Kentus. Bu Nuk tak tahu pasti keperluan mereka apa. Tapi kadang pembicaraan mereka seputar partai politik atau menjadi satuan pengamanan parpol.
"Sini terkenalnya kampung Texas, mas," Titi ikut menambahi.
'Gali' berhak dapat keadilan
Kampung Texas terkenal sebagai lokasi tempat tinggal orang-orang yang disebut sebagai 'gali' dan sering menjadi lokasi judi.
Tiga orang yang disebut gali di kampung ini pernah menjadi target OPK, Kentus salah satunya.
Mereka menolak disebut gali karena tidak pernah melakukan tindakan kejahatan dan punya pekerjaan jelas. LBH Jakarta dan Yogyakarta, mengadvokasinya, dan berhasil.
Salah-satu anak Kentus, Titi, tak mengetahui secara langsung apakah ayahnya memang pernah menjadi target.
Saat itu, dia belum lahir. Yang dia tahu, ayahnya punya pekerjaan. Menjadi penjaga keamanan dan pengelola parkir.
"Bapak saya memang gali, tapi kan tidak merugikan orang," kata Titi, mengenang ayahnya.
Sekalipun dicap sebagai gali, Kentus juga manusia dan berhak mendapatkan keadilan, ujarnya.
Titi tidak rela kalau saat itu ayahnya begitu saja dieksekusi tembak tanpa proses pengadilan. Baginya, kalaupun harus dieksekusi tembak, haruslah lewat pengadilan.
"Gali juga berhak dapat keadilan. Ojo dumeh gali terus ditembak. Saya gak terima kalau begitu," katanya.
Senada dengan Titi, Ismanto, menyatakan, yang dibela LBH bukanlah galinya, tapi tindakan menyalahi hukum yang dilakukan Kodim kepada masyarakat.
Yang dilakukan Kodim, menurut Ismanto, tidak ada legalitasnya, dan termasuk perbuatan main hakim sendiri, bahkan penyalahgunaan wewenang.
"Itu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)," katanya.
Ismanto juga mempertanyakan definisi gali yang dimaksud dalam OPK. Baginya, kriterianya tidak jelas dan cenderung bias. Tidak ada tolok ukur yang jelas seperti apa gali.
Persoalan menjadi melebar ketika saat itu muncul generalisasi, karena gali ada yang bertato, maka orang yang bertato dianggap gali.
Itulah mengapa, menurutnya, sikap LBH "tegas" dan "keras". "Kalau salah, mestinya proses hukum yang ditegakkan," jelas Nur Ismanto.
Kentus dalam hati keluarga
Suatu hari, Kentus pergi mencari nafkah untuk keluarganya, jadi kenek bus kota. Saat itu, Bu Nuk menunggu di rumah, dia sudah berpesan pada suaminya beli susu kaleng untuk anaknya yang nomor dua.
"Bapak lalu pamit berangkat kerja," ujar Bu Nuk.
Lama sekali suaminya tak kembali. Sampai sore. Jelang magrib, suaminya pulang. Tak membawa susu pesanan Bu Nuk. Katanya, uangnya hari itu diberikan kepada temannya yang mau melahirkan. Kentus merasa kasihan karena temannya tidak punya uang dan butuh biaya melahirkan.
"Tapi pulang tidak bawa susu. Uangnya dikasih temannya yang mau melahirkan," kenang Bu Nuk. "Bapak itu orang baik," imbuh Bu Nuk dengan mata berkaca-kaca.
Dengan tetangga, lanjut Bu Nuk, suaminya itu selalu membantu. Bahkan kepada mahasiswa penelitian, suaminya bersedia mengantarkan sampai ke Gunung Kidul.
Melihat gua atau luweng yang diduga digunakan sebagai tempat pembuangan korban OPK. Padahal waktu itu, Kentus dalam kondisi tidak sehat.
"Habis itu bapak jatuh dan masuk rumah sakit," katanya.
Titi, anak terakhir Kentus, meski dia tak tahu saat peristiwa OPK, karena belum lahir, dia yakin ayahnya orang baik. Ayahnya mau bekerja apa saja demi mencukupi kebutuhan keluarga.
"Bapak itu sampai mau jadi tukang parkir, mas" kata Titi. "Padahal bapak orang disegani di kampung," imbuhnya.
Dan, empat tahun silam, 7 September, Kentus meninggal dunia akibat sakit. Rumahnya kontrakannya yang hanya sepetak, tak cukup menampung banyaknya para pelayat yang datang.
"Waktu bapak meninggal, Jlagran setengah tiang. Waktu meninggal di Balai, rumah enggak muat [menampung tamu]," kenang Bu Nuk.
Menanti bukti janji Presiden
Presiden Joko Widodo, atas nama negara, telah menyatakan peristiwa penembakan dengan rentang waktu 1982-1985 yang dikenal dengan istilah Petrus atau penembakan misterius, sebagai sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Sebagai kepala negara, Presiden Joko Widodo menyesalkannya dan berjanji akan memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana, di antaranya berupa kompensasi, rehabilitasi, dan beasiswa kepada keluarga korban.
Keluarga Kentus mengaku belum mendengar rencana pemerintah yang ingin memulihkan hak-hak para korban. Perwakilan dari pemerintah pun belum ada yang datang untuk mendata terkait peristiwa yang dialami Kentus.
"Cuma Pak Stanley yang pernah datang ke sini," kata Bu Nuk.
Yang dimaksud Bu Nuk adalah mantan Komisioner Komnas HAM yang menjadi Ketua Tim Adhoc Penyelidik Pelanggaran HAM dalam kasus Penembakan Misterius (Petrus), Stanley Adi Prasetyo.
Bu Nuk tak berharap banyak. Dia sudah kenyang dengan janji-janji, dan kini dia harapkan bukti pemerintah merealisasikannya. Baginya, tak perlu rehabilitasi nama baik, karena suaminya bukanlah gali.
"Tidak perlu [rehabilitasi]. Temannya sudah pada tahu sifatnya bapak," kata Bu Nuk.
Yang harus dilakukan pemerintah, lanjut Bu Nuk, adalah pengakuan bahwa mereka tidak bersalah dan berani mengungkap kasus Petrus ke publik.
Apa sebenarnya yang melatarbelakangi peristiwa tersebut, dan mengapa suaminya menjadi korban, pintanya.
"Enggak cukup kalau cuma kata maaf atau pengakuan. Enggak cukup. Kita korban," ujar Bu Nuk dan terlihat matanya berkaca-kaca.
Dia ingin kasus yang telah dialami suaminya diungkap tuntas kepada publik sehingga tidak menimbulkan kebingungan sejarah di kemudian hari.
Daripada rehabilitasi, Bu Nuk malah lebih berharap pemerintah memperhatikan kesejahteraan hidup pada korban, seperti dirinya. Pemberian modal usaha, dipandang lebih bermanfaat untuknya dan keluarga.
"Modal usaha untuk kelanjutan hidup, alangkah bermanfaatnya bagi kami," ujarnya, pelan.
Dia pun memperlihatkan etalase katering yang ada di pojok depan rumahnya. Katanya, dulu dia jualan katering. Tapi berhenti semenjak pandemi karena kehabisan modal.
"Itu nanti bisa jualan katering lagi dan jual sembako," imbuhnya.
Di usianya yang sekarang sudah 64 tahun, Bu Nuk juga berharap selalu sehat, dan sakit katarak yang dideritanya bisa segera sembuh.
"Saya sehari bisa jatuh tiga kali," kata Bu Nuk yang belum bisa operasi katarak karena tidak punya uang.
"Kalau mau bangun tidur panggil anak. Enggak bisa bangun sendiri. Itu susahnya," imbuh Bu Nuk sambil memegang tangan Titi, anak ragilnya yang hampir saban hari selalu menemani.
Titi sendiri tak begitu mempersoalkan dan tak mau mengulik lagi kasus yang dialami ayahnya.
Kalaupun pemerintah mau minta maaf, dia sudah memaafkan. Lagi pula, ayahnya sudah meninggal. Yang terpenting baginya, ibunya sehat dan bahagia. Tidak sedih lagi.
"Kami tidak berharap banyak, cukup perhatikan kesejahteraan para korban," kata Titi sambil memperlihatkan foto sosok ayahnya.
Sampai awal April 2023, janji pemerintah untuk memulihkan korban dan keluarga pelanggaran HAM berat di masa lalu — termasuk kasus pembunuhan misterius 1982-1985 — belum menemukan bentuk kongkretnya.
Para pegiat HAM mengatakan, luasnya dimensi dari 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu itu, membuat setiap korban memiliki situasi dan kebutuhan berbeda.
Di sinilah, janji pemulihan terhadap korban dan keluarganya, tidak bisa disamakan.
Sumber: BBC