HOT NEWS TRENDING

Muslim Arbi: Setelah Tak Berkuasa, Jokowi Bisa Dipenjara Dalam Skandal Kereta Cepat China!

DEMOCRAZY.ID
Maret 13, 2024
0 Komentar
Beranda
HOT NEWS
TRENDING
Muslim Arbi: Setelah Tak Berkuasa, Jokowi Bisa Dipenjara Dalam Skandal Kereta Cepat China!


DEMOCRAZY.ID - Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa masuk penjara setelah tidak berkuasa dalam kasus skandal kereta cepat Jakarta-Bandung yang mendapat utangan dari China.


“Biaya yang membengkak dan harus mendapat jaminan dari APBN. Proyek kereta cepat China ini akan menjadi skandal hukum dan bisa memenjarakan Jokowi setelah tidak berkuasa,” kata pengamat politik Muslim Arbi kepada redaksi SuaraNasional, Jumat (14/4/2023).


Menurut Muslim, jaminan APBN untuk prooyek kereta cepat Jakarta-Bandung berarti menggadaikan kedaulatan bangsa Indonesia ke China. 


“Proyek tak perencanaan matang dan hanya berdasarkan ambisi pribadi saja,” papar Muslim.


Muslim mengatakan, Jokowi yang hanya petugas partai PDIP tak akan dilindungi setelah tidak berkuasa. 


“Jokowi bukan Ketua Umum Partai, atau mempunyai jaringan organisasi. Dia Nampak hebat hanya saat menjadi presiden saja. Ketika tak berkuasa, orang-orang akan menjauh,” jelas Muslim.


Jokowi sudah mengetahui proyek kereta cepat Jakarta-Bandung bermasalah sehingga meng-endorse semua capres akan selamat setelah tidak berkuasa. 


“Jokowi ingin selamat dari jerat hukum dengan mendapat perlindungan dari presiden yang akan datang,” pungkas Muslim.


Kereta Cepat Terbukti Rugikan Keuangan Negara, Jokowi Terancam Masuk Penjara?


Kereta cepat Jakarta-Bandung mengalami pembengkakan biaya sehingga merugikan keuangan negara. 


Nilai pembengkakan biaya kereta cepat ini sudah dalam tahap yang tidak normal. Sangat besar sekali. Mencapai lebih dari 20 persen dari nilai proyek. 


“Menurut pengakuan pemerintah, Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo, salah satu alasan terjadi pembengkakan biaya kereta cepat Jakarta-Bandung karena perhitungan dari pihak China meleset. Pengakuan ini bisa menjadi bukti sudah terjadi kerugian keuangan negara,” kata ekonom senior Anthony Budiawan, Ahad (20/11/2022). 


Ada beberapa komponen biaya yang tidak dimasukkan di dalam perhitungan awal tender. 


Kalau komponen biaya tersebut masuk ke dalam perhitungan, maka biaya proyek akan lebih besar. Bukan lagi 6 miliar dolar AS, tetapi jauh lebih besar dari itu. 


“Dan bisa jauh lebih besar dari biaya proyek yang ditawarkan oleh Jepang yang sebesar 6,2 miliar dolar AS. Sehingga merugikan keuangan negara,” paparnya.


Anthony mengungkapkan, biaya kereta cepat Jakarta-Bandung yang awalnya seharusnya ada, tetapi ditiadakan untuk memenangi proyek, dan kemudian sekarang baru muncul lagi sebagai pembengkakan biaya, patut diduga sebagai manipulasi tender yang merugikan keuangan negara. Kemudian, kedua adalah komponen bunga pinjaman. 


Biaya proyek kereta cepat menggunakan 75 persen pinjaman komersial dengan suku bunga 2 persen per tahun, dengan grace period 10 tahun. 


Artinya, biaya bunga pinjaman kereta cepat per tahun mencapai 90 juta dolar AS (6 miliar dolar AS x 75 persen x 2 persen), atau 900 juta dolar AS selama 10 tahun grace period. 


“Sedangkan Jepang menawarkan bunga pinjaman hanya 0,1 persen saja per tahun, atau hanya 1/20 dari bunga pinjaman China. Artinya, dengan nilai pinjaman yang sama, bunga pinjaman ke Jepang hanya 45 juta dolar AS selama 10 tahun grace period (6 miliar dolar AS x 75 persen x 0,1 persen x 10 tahun),” paparnya.


Dengan demikian, selisih pembayaran bunga kepada China versus kepada Jepang lebih mahal 855 juta dolar AS selama 10 tahun. 


Jumlah ini jauh lebih besar dari selisih nilai proyek yang hanya sekitar 200 juta dolar AS saja. 


Maka itu, komponen biaya bunga juga merupakan kerugian keuangan negara yang jelas dan nyata, yang seharusnya masuk dalam komponen biaya proyek ketika mengevaluasi penawaran tender. 


Meskipun kerugian negara ini nampaknya sudah jelas dan nyata, tetapi semua pihak yang berwenang mengawasi pemerintah dan keuangan negara, seperti DPR, KPK, kepolisian dan kejaksaan ternyata diam saja. 


“Diamnya DPR dapat dianggap sebagai indikasi bekerja sama turut menciptakan kerugian keuangan negara. Maka itu, harus bertanggung jawab, tidak boleh lepas tangan begitu saja,” pungkasnya. [Democrazy/SuaraNasional]

Penulis blog