DEMOCRAZY.ID - Peneliti Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia (KPPII) Sayyidatihayaa Afra mengungkapkan adanya intimidasi terhadap masyarakat adat dalam pembangunan proyek kawasan Mandalika di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Hal tersebut dipaparkannya dalam pemaparan data survei yang dilakukan KPII di Menteng, Jakarta Pusat pada Senin (10/4/2023).
"Data survei KPPII mengungkapkan masih berlanjutnya pola intimidasi dan pemaksaan terhadap masyarakat adat dalam proses pembebasan lahan yang dilakukan oleh proyek Mandalika yang didanai AIIB (Asian infrastructure Investment Bank),” kata perempuan yang akrab disapa Haya itu.
Sebanyak 72 persen dari responden yang diwawancara KPPII merasa terintimidasi atau dipaksa oleh pasukan keamanan terkait dengan proses pembebasan lahan.
Angka itu di dapat melalui jajak pendapat yang dilakukan KPPII terhadap 106 warga terdampak, terdiri dari 69 laki-laki dan 37 perempuan.
Adapun metode penelitian yang dilakukan ialah wawancara secara langsung dan diskusi kelompok terfokus dengan menggunakan Bahasa Sasak dan Bahasa Indonesia pada Desember 2022 hingga Januari 2023.
Lebih lanjut, Haya menjelaskan sejumlah warga mengaku didatangi staf Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) dan pejabat pemerintah yang didampingi polisi.
Mereka memaksa warga untuk pindah dan mengancam tidak akan memberi kompensasi jika warga menolak untuk pindah.
"Aparat keamanan melakukan kunjungan rutin, terkadang hingga larut malam, tapi bukan hanya kehadiran mereka yang merupakan ancaman, beberapa anggota masyarakat mengatakan kepada KPPII bahwa mereka ditangkap dan dianiaya karena mempertahankan tanah mereka," ujarnya.
Bahkan, lanjut dia, satu keluarga terpaksa meninggalkan rumah mereka setlah ITDC memasang plang bertuliskan ‘Lahan Milik ITDC’ di depan pintu rumah mereka.
Menurut Haya, intimidasi yang dilakukan aparat ketika menggusur warga membuat para perempuan dan anak-anak trauma karena adanya kekerasan.
Terlebih, aparat keamanan yang mendatangi warga untuk menggusur secara paksa menodongkan senjata kepada warga.
Kasus intimidasi, kekerasan, dan penggusuran paksa akibat proyek Mandalika disebut telah tak terhitung lagi jumlahnya sejak 2018.
"Hingga saat ini, masyarakat lokal di Mandalika terus mengalami intimidasi dan paksaan oleh ITDC, pejabat pemerintah Indonesia, dan aparat keamanan Indonesia yang berusaha membuka lahan baru untuk pembangunan. Insiden intimidasi terbaru terjadi pada Februari 2023," katanya.
Berani Mati, Warga Pesisir Desa Mertak Lawan Ultimatum Penggusuran oleh Korporasi
Masyarakat nelayan di Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah terancam digusur oleh PT Bumbang Citra Nusa, pemegang Hak Guna Bangunan (HGB) untuk lahan seluas 60 hektar di sekitar pesisir pantai desa setempat.
Masyarakat sejumlah 50 kepala keluarga (KK) terbagi dalam tiga dusun yakni Dusun Semunduk, Dusun Bumbang, dan Dusun Takar-akar.
Terkini, mereka mendapat ultimatum dari pihak perusahaan agar segera mengosongkan lahan dalam tempo 10 hari kedepan. Jika tidak, maka akan dilakukan penggusuran secara paksa.
Namun begitu, menurut Ketua Blok Pujut, rencana akuisisi lahan yang dilakukan oleh PT Bumbang cacat hukum lantaran berada diluar area lahan yang memiliki ijin HGB.
Selain itu, menurutnya rencana penggusuran terhadap warga tersebut bukan semata-mata soal relokasi, namun menurutnya lebih kepada perubahan-perubahan yang akan timbul pada kehidupan baru yang akan mereka jalani.
“Iya kita punya rumah, kita punya lahan, tapi bagaimana dengan pekerjaan, akan ada banyak yang berubah pada tatanan kehidupan kedepan yang tentu akan menyulitkan mereka,” ungkapnya kepada Lensa Mandalika, Sabtu (8/4/2023).
Dirinya mengambil contoh masyarakat Dusun Ebunut dan Ujung Lauq di Desa Kuta sebagai imbas pembangunan Sirkuit Mandalika.
Memang mereka mempunyai tempat tinggal baru, namun kemudian tidak relevan dengan kehidupan mereka sebelumnya.
“Mereka kehilangan rumah yang sudah ditinggali berpuluh-puluh tahun, kehilangan pekerjaan, bahkan banjar merekapun hilang. Ini sekali lagi tidak sesederhana mereka digusur kemudian direlokasi,” jelasnya.
Menurutnya pihak perusahaan harus benar-benar menjamin kehidupan masyarakat yang terkena dampak penggusuran tersebut, mulai dari lahan baru tempat mereka akan direlokasi, kemudian mengenai pekerjaan untuk memenuhi kehidupan.
“Kalau mereka tidak bisa menjamin, ya kita harus solid dan kompak untuk lawan dan terus mengawal,” tegasnya.
Sementara itu, perwakilan warga setempat, Amaq Serun mengungkapkan dirinya memilih tinggal di pinggir pantai lantaran profesinya yang merupakan seorang nelayan, tidak memiliki keahlian untuk menjadi petani ataupun lainnya.
Menyikapi ultimatum yang disampaikan oleh PT Bumbang terhadap beberapa warga, dirinya mengaku tidak gentar.
Ia dan warga lainnya akan tetap menduduki dan mempertahankan wilayah yang telah berpuluh-puluh tahun mereka tinggali tersebut.
“Kalau saya disini dan teman-teman lainnya yang masih berada disini, siap mati di tempat. Kalau sampai saya berhasil digusur di tempat ini, saya akan pindahkan sampan dan peralatan-peralatan saya ke kantor desa,” tegasnya.
“Dan kalau sampai saya berkhianat, silahkan bakar perlengkapan saya mulai sampan, mesin ketinting, mesin tempel, kompresor dan lain-lain. Kalaupun saya dikasih seratus juta, saya tetap akan bertahan di tempat ini.” imbuhnya.
Perihal ultimatum yang dikeluarkan oleh pihak perusahaan agar warga setempat mengosongkan lahan dalam sepuluh hari kedepan dibenarkan oleh Amaq Mancing.
“Jika sampai tenggat waktu yang ditentukan, warga tidak membongkar sendiri bangunan yang ada, makan pihak perusahaan akan menggusur secara paksa,” terangnya. [Democrazy/suara]