AGAMA DAERAH HOT NEWS ISLAMI POLITIK TRENDING

Karena Tak Ada Gereja, SETARA Buat Penghargaan ‘Kota Intoleran’, Pakar: Survei Provokatif dan Merusak Kerukunan!

DEMOCRAZY.ID
Maret 13, 2024
0 Komentar
Beranda
AGAMA
DAERAH
HOT NEWS
ISLAMI
POLITIK
TRENDING
Karena Tak Ada Gereja, SETARA Buat Penghargaan ‘Kota Intoleran’, Pakar: Survei Provokatif dan Merusak Kerukunan!


DEMOCRAZY.ID - SETARA Institute menggelar Penghargaan Kota Toleran yakni Indeks Kota Toleran (IKT) 2022 yang diduduki Kota Singkawang sebagai peringkat pertama dengan perolehan poin 6.583. 


SETARA Institute juga merilis deretan 10 kota dengan skor toleran terendah 2022.


Posisi ini dipegang oleh Cilegon dengan peringkat 94 (terakhir) meraih poin 3.227. 


“Objek kajian IKT adalah 94 kota dari total 98 kota di seluruh Indonesia. 4 kota yang dieliminir merupakan kota-kota administrasi di DKI Jakarta yang digabungkan menjadi 1 DKI Jakarta,” ujar Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Kamis (6/4/2023).


Berikut daftar 10 kota di Indonesia dengan skor ‘toleransi’ terendah versi SETARA Institute, antara lain:


1. Cilegon, peringkat 94 dengan perolehan poin 3.227;

2. Depok, peringkat 93 dengan perolehan poin 3.610;

3. Padang, peringkat 92 dengan perolehan poin 4.060;

4. Sabang, peringkat 91 dengan perolehan poin 4.257;

5. Mataram, peringkat 90 dengan perolehan poin 4.387;

6. Banda Aceh, peringkat 89 dengan perolehan poin 4.393;

7. Medan, peringkat 88 dengan perolehan poin 4.420;

8. Pariaman, peringkat 87 dengan perolehan poin 4.450;

9. Lhokseumawe, peringkat 86 dengan perolehan poin 4.493;

10. Prabumulih, peringkat 85 dengan perolehan poin 4.510


Ada beberapa alasan mengapa ke-10 kota di atas menjadi peringkat terendah kota ‘toleransi’ oleh SETARA. 


Ismail menyebutkan salah satu alasannya adalah kota tersebut kerap mengedepankan identitas agama tertentu.


Merusak Kerukunan


Sementara itu, pemikir Muslim dan dosen UNIDA Gontor Dr. Syamsuddin Arif, PhD menilai, penelitian SETARA ini sangat tendensius dan sangat provokatif yang bisa mengoyak kerukunan beragama.


“Survei yang provokatif dan tendensius. Berpotensi merusak kerukunan masyarakat yang sebenarnya sudah saling memahami dan menghormati sesuai komposisi demografis masing-masing,” demikian ujar alumni Johann Wolfgang Goethe Universitat Frankfurt Jerman ini.


Menurutnya, semua maklum kalau di kota yang padat penduduk muslimnya ya jangan membangun gereja. 


Sebaliknya, kalau di kawasan elit yang mayoritas warganya non-muslim tidak boleh terdengar adzan dengan pengeras suara.


“Hal seperti itu kita pun maklum. Tanpa perlu menuduh pihak lain intoleran,” ujar penulis buku “Orientalis & Diabolisme Pemikiran” ini.


Karena itu, alumni ISTAC ini khawatir, justri lembaga survei inilah yang sebenarnya tidak toleran terhadap warga mayoritas. 


“Saya khawatir pemesan survei itu yang sebenarnya intoleran terhadap warga mayoritas yang sudah toleran,” tambahnya. [Democrazy/Hidayatullah]

Penulis blog