Gus Nur Dihukum 6 Tahun Penjara, Indonesia Negara Hukum Palsu
Oleh: M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Akhirnya Gus Nur dihukum penjara 6 tahun dalam Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Solo tanggal 18 April 2023. Tuntutan JPU adalah 10 tahun. Pandangan sederhana menilai bahwa Hakim bijak memutus hukuman di bawah tuntutan Jaksa.
Akan tetapi publik khususnya umat Islam dan masyarakat hukum menilai vonis 6 tahun adalah berlebihan, tidak adil dan itu bukanlah putusan hukum tetapi vonis politik.
Tuduhan pelanggaran ITE, penistaan agama, dan ujaran kebencian berujung pada perbuatan melanggar hukum sesuai Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 tahun 1946 Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP yaitu bersama-sama menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang sengaja menimbulkan keonaran di kalangan rakyat. Kebersamaan dimaksud adalah bersama Bambang Tri Mulyono yang juga dihukum penjara 6 tahun.
Banyak pihak menyatakan peradilan PN Solo tersebut sebagai peradilan sesat (rechterlijke dwaling). Tidak berdasar hukum dan keadilan yang sebenarnya.
Ada rekayasa atau kepentingan politik dibelakang putusan itu. Hal ini mudah difahami mengingat subyek sasaran adalah Presiden Jokowi yang dituduh berijazah palsu.
Ada tiga cacat hukum Putusan yang Majelis Hakim paksakan dalil untuk menghukum terdakwa berdasarkan Pasal 14 ayat (1) UU No 1 tahun 1946, yaitu :
Pertama, tidak ada atau terbukti menyiarkan berita bohong. Tuduhan Jokowi berijazah palsu belum bisa dikatakan bohong jika aslinya tidak ada atau ditunjukkan. Intinya tidak ada bohong untuk bukti yang benarnya tiada. Ijazah asli tetap misterius.
Kedua, tidak menimbulkan keonaran di kalangan rakyat. Keonaran harus terbukti secara faktual di kalangan rakyat. Ada friksi atau konflik atau kerusuhan yang terjadi.
Wacana atau polemik di media bukan keonaran. Hakim yang menyatakan terjadi keonaran tanpa bukti faktual adalah sembrono. Pasal karet penjerat.
Ketiga, dengan sengaja menerbitkan keonaran tidak terbukti. Siaran podcast tidak bisa di kualifikasikan “sengaja” (opzet) apalagi sengaja untuk menimbulkan kerusuhan. Jauh tentunya.
Hal itu berlaku untuk semua jenis “sengaja” baik opzet als oogmerk, opzet als Zekerheidsbewustzein, maupun dolus eventualis.
Ada dugaan Majelis Hakim mendapat pesanan dengan mendasari Pasal 14 ayat (1) UU No 1 tahun 1946 untuk tudingan ijazah palsu Jokowi agar jika Putusan nanti “inkracht” atau berkekuatan hukum pasti untuk “menyiarkan berita bohong” maka menjadi legalitas berdasar Putusan Pengadilan bahwa “ijazah Jokowi itu asli”. Ini berbasis pada argumen sebaliknya atau “argumentum a contrario”. Ini namanya manipulasi sekaligus kejahatan hukum.
Jokowi hingga kini tidak mampu untuk menunjukkan keaslian ijazah sarjana bahkan sekolah sebelumnya. Rakyat terus ragu dan bertanya-tanya.
Diskusi Gusnur dan Bambang Tri adalah pertanyaan yang butuh klarifikasi bukan menyebarkan berita bohong. Jokowi tinggal jawab dan buktikan maka selesai. Karena tidak ada klarifikasi, maka tidak ada delik untuk menyebarkan berita bohong itu.
Soal ijazah palsu berkonsekuensi pada integritas palsu. Andai benar bahwa ijazah Presiden Jokowi itu palsu maka berakibat hukum pada jabatan Presiden palsu, kabinet palsu, APBN palsu dan lainnya yang menyangkut keabsahan dari jabatan dan kebijakan. Masalahnya menjadi sangat serius. Ini skandal dan penipuan publik.
Ketika UUD 1945 menyatakan bahwa Republik Indonesia itu sebagai Negara Hukum (rechtsstaat), maka dengan Putusan PN Solo tersebut Hakim telah mengetukkan palu dengan keras bahwa Indonesia adalah Negara Hukum Palsu !
Atau Negara Kekuasaan (machtstaat).