GLOBAL HOT NEWS TRENDING

Fenomena Jebakan Utang China & Ambisi Xi Jinping Kuasai Dunia

DEMOCRAZY.ID
Maret 13, 2024
0 Komentar
Beranda
GLOBAL
HOT NEWS
TRENDING
Fenomena Jebakan Utang China & Ambisi Xi Jinping Kuasai Dunia


DEMOCRAZY.ID - Dalam sepuluh tahun terakhir, China terus menggenjot program pembiayaan Belt and Road Initiative (BRI) kepada negara-negara berkembang dunia. 


Tercatat, pendanaan infrastruktur internasional ala Beijing ini masih terus menjadi lirikan negara-negara berkembang.


Meski begitu, setelah sepuluh tahun lebih berjalan, para pengamat mengatakan strategi ambisius untuk membangun hubungan perdagangan infrastruktur di seluruh Eurasia dan sekitarnya kehilangan tenaga. Hal ini diakibatkan banyaknya negara yang tak mampu melunasinya.


"Sekarang, banyak peminjam mengalami kesulitan membayar utang proyek infrastruktur mereka ke Beijing, Pada 2010, hanya 5% dari portofolio pinjaman luar negeri China yang mendukung peminjam dalam kesulitan keuangan. Hari ini, angka itu mencapai 60%," katanya kepada CNBC International, Jumat (14/4/2023).


Presiden China Xi Jinping mengumumkan gagasan kebijakan ini pada 2013 lalu di Kazakhstan. 


Sejak dimulai, proyek kumulatif Belt and Road China telah mencapai US$ 962 miliar, termasuk US$ 573 miliar dalam kontrak konstruksi dan US$ 389 miliar dalam investasi non-keuangan.


Akan tetapi, perlambatan ekonomi global serta kenaikan suku bunga dan inflasi yang tinggi telah membuat banyak negara berjuang untuk membayar utang mereka ke China.


Di Asia Selatan, utang ke China telah meningkat dari US$ 4,7 miliar pada tahun 2011 menjadi US$ 36,3 miliar pada tahun 2020. 


Beijing juga sekarang menjadi kreditor bilateral terbesar ke Maladewa, Pakistan, dan Sri Lanka,


Sri Lanka gagal membayar utangnya untuk pertama kalinya tahun lalu. Pada tahun 2017, negara tersebut menandatangani hak atas pelabuhan strategis Hambantota ke China, yang memicu kekhawatiran atas praktik pinjaman Beijing.


Kedutaan Besar China di Singapura mengatakan bahwa benar bahwa risiko utang yang dihadapi negara-negara berkembang baru-baru ini meningkat secara signifikan. Namun ada berbagai faktor eksternal.


"Kami tidak pernah memaksa orang lain untuk meminjam dari kami. Kami tidak pernah melampirkan ikatan politik apa pun pada perjanjian pinjaman, atau mencari kepentingan politik yang egois," kata juru bicara Meng Shuai.


"Kami selalu melakukan yang terbaik untuk membantu negara-negara berkembang meringankan beban utang mereka."


Menurut laporan yang dilakukan AidData, Bank Dunia, Harvard Kennedy School, dan Institut Kiel untuk Ekonomi Dunia, China telah mengeluarkan 128 pinjaman penyelamatan darurat senilai US$ 240 miliar ke 22 negara seperti diantaranya Pakistan, Sri Lanka, dan Turki, antara lain. Hampir 80% pinjaman dilakukan antara 2016 dan 2021.


Namun, dana talangan darurat China tidak murah. Bank-bank dari Negeri Tirai Bambu mematok suku bunga 5% untuk pinjaman darurat tersebut.


"Tingkat tersebut jauh lebih tinggi dari tingkat bunga rata-rata IMF, yang telah sekitar 2% untuk operasi pinjaman non-konsesi selama 10 tahun terakhir," pungkas laporan itu.


"Laporan tersebut menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan jangka panjang dari seluruh inisiatif China. Saya pikir ini hanya pertanda akan datang."


Rekan peneliti senior di Mercatus Center di Universitas George Mason di Virginia, Weifeng Zhong, menyebut upaya China untuk memperbaiki BRI telah berlangsung sejak 2020. 


Menurutnya, sejak tahun 2020, fokus Beijing telah bergeser ke pentingnya apa yang disebut sebagai 'pembangunan berkualitas tinggi'.


"Sebuah anggukan atas keprihatinan bahwa banyak proyek Belt and Road tidak layak secara ekonomi sejak awal. Inisiatif minimal belum hemat biaya," pungkasnya.


Zhong pun mengakui bahwa ada fenomena yang tidak biasa dilakukan China sebelum 2020. 


Ia menjelaskan hal ini terlihat pada bagaimana Beijing melakukan cenderung berlebihan dalam memberikan pinjamannya.


"China tidak hanya mencoba untuk meminjamkan banyak proyek infrastruktur yang tidak dapat menemukan pemberi pinjaman lain, tetapi juga ditujukan untuk komersial, atau setidaknya tidak dengan persyaratan konsesi, membuat kemungkinan pembayaran kembali menjadi lebih kecil," tambahnya. [Democrazy/cnbc]

Penulis blog