DEMOCRAZY.ID - Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) yang awalnya ditargetkan selesai pada 2019, kini molor menjadi tahun 2023.
Proyek ini pun mengalami pembengkakan biaya yang berpotensi merugikan keuangan negara.
Sesuai proposal dari pemerintah China, mega proyek ini mulanya diperhitungkan membutuhkan biaya Rp 86,5 triliun dan haram menggunakan duit APBN.
Kini biaya proyek mengalami pembengkanan hingga triliunan rupiah dan boleh didanai uang negara.
Terbaru, pemerintahan Presiden Jokowi kembali berencana menyuntik uang rakyat ke mega proyek tersebut sebesar Rp 3,2 triliun melalui skema penyertaan modal negara (PMN) ke PT KAI (Persero).
Penggunaan uang APBN untuk mendanai proyek ini sejatinya mengingkari janji Presiden Jokowi. Ini lantaran kepala negara sebelumnya berkali-kali menegaskan kalau proyek ini tak akan menggunakan uang pajak sepeser pun.
Janji Jokowi
Menilik ke belakangan, Kereta Cepat Jakarta Bandung sendiri merupakan salah satu proyek paling strategis di era Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam beberapa kesempatan, baik Presiden Jokowi maupun para pembantunya, berungkali menegaskan bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung adalah murni dilakukan BUMN.
Menggunakan skema business to business (B to B), artinya pemerintah menjanjikan tak ada duit dari APBN, pun tidak ada jaminan dari negara apabila suatu saat proyek ini terancam mangkrak.
Biaya investasi sepenuhnya berasal dari modal anggota konsorsium dan pinjaman dari China. Dana juga bisa berasal dari penerbitan obligasi perusahaan.
"Kereta cepat tidak gunakan APBN. Kita serahkan BUMN untuk business to business. Pesan yang saya sampaikan kereta itu dihitung lagi," kata Jokowi dikutip dari laman Sekretariat Kabinet pada 15 September 2015.
Konsorsium yang dimaksud yakni PT Kereta Cepat Indonesia China atau PT KCIC. Konsorsium ini melibatkan sembilan perusahaan.
Dari Indonesia ada empat BUMN yaitu Wijaya Karya, Jasamarga, Perkebunan Nusantara VIII, dan KAI.
Sedangkan dari China adalah China Railway International Company Limited, China Railway Group Limited, Sinohydro Corporation Limited, CRRC Corporation Limited, dan China Railway Signal and Communication Corp.
Dari Indonesia membentuk badan usaha PT Pilar Sinergi BUMN dan dari China membentuk China Railway. Lalu kedua perusahaan gabungan itu kemudian membentuk PT KCIC.
"Kita tidak ingin beri beban pada APBN. Jadi, sudah saya putuskan bahwa kereta cepat itu tidak gunakan APBN," ucap Jokowi menegaskan.
Jokowi janji proyek tak dijamin pemerintah
Jokowi menegaskan, jangankan menggunakan uang rakyat, pemerintah bahkan sama-sekali tidak memberikan jaminan apa pun pada proyek tersebut apabila di kemudian hari bermasalah.
Hal ini karena proyek kereta cepat penghubung dua kota berjarak sekitar 150 kilometer tersebut seluruhnya dikerjakan konsorsium BUMN dan perusahaan China dengan perhitungan bisnis.
"Tidak ada penjaminan dari pemerintah. Oleh sebab itu, saya serahkan kepada BUMN untuk melakukan yang namanya B to B, bisnis," tegas Jokowi kala itu.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengingatkan, bahwa hitung-hitungan ekonomi proyek pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung yang diperkirakan menelan investasi Rp 70 triliun sampai Rp 80 triliun itu sangat jelas.
Dalam proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung, China menggelontorkan utang yang sangat besar. Plafon pengembalian ditetapkan 40 tahun dengan bunga sebesar 2 persen.
Karena banyak perusahaan China yang terlibat di dalamnya, maka banyak komponen hingga tenaga kerja juga didatangkan dari sana.
Meski besarannya peranan Beijing di proyek itu, Jokowi berujar, China tak bisa mendikte Indonesia dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, proyek pada awal sebelumnya digadang-gadang akan digarap oleh Jepang.
“Jangan mentang-mentang bawa uang dan teknologi, terus mau ngatur-ngatur kita, ya nggak gitu. Memang harus seperti itu, jangan juga terlalu ikut dan disetir oleh investor, ndak mau saya,” ujar Jokowi.
Seperti diketahui, China memenangkan persaingan dengan Jepang dalam pembangunan kereta cepat sepanjang 142,3 km tersebut.
Saat itu, kata dia, Jepang mengajukan proposal dengan nilai 6,2 miliar dolar AS, sedangkan China mengajukan 5,5 miliar dollar AS. [Democrazy/kompas]