DEMOCRAZY.ID - Kemajuan China dalam sektor perekonomian telah mengantarkan mereka menjadi salah satu negara besar yang mampu bersaing bahkan merajai pasar dunia.
Dengan hasil yang didapatkan China tersebut telah mengantarkannya menjadi salah satu negara yang sering memberikan pinjaman atau Utang kepada negara-negara berkembang di dunia.
Berdasarkan hasil penelitian dari Business Review dari Havard University beberapa waktu lalu mengatakan, bahwa terdapat lebih dari 80 negara berkembang yang memiliki tingkat hutang tinggi kepada China.
Tak hanya itu, dilansir dari laporan BBC, tingkat pertumbuhan utang negara-negara berkembang dan berpenghasilan rendah kepada China dalam satu dekade ini, telah meningkat sebanyak tiga kali lipat.
Tak heran jika pada masa pandemi selama dua tahun sebelumnya, China selalu memberikan bantuan atau pinjaman kepada negara-negara terutang untuk keluar dari krisis.
Tercatat hingga tahun 2020, total nilai pinjaman yang telah digelontorkan oleh China kepada negara-negara tersebut mencapai 70 milias US Dolar atau setara Rp2550 triliun.
Lantas negara mana saja yang memiliki rasio utang yang tinggi terhadap China, dan kenapa hutang tersebut sulit dibayar?
Berdasar hasil penilitian dari Ed- Data William and Mary Univesity Amerika Serikat menerangkan, bahwa terdapat 40 negara berkembang yang memiliki resiko hutang tinggi terhadap China.
Dari data yang tersaji, terlihat bahwa negara-negara bagian Sub-Sahara Afrika menjadi negara yang paling banyak berutang ke China, kemudian diikuti negara Asia Selatan dan Tenggaran Amerika Latin dan sebagainya.
Terlihat dari data tersebut, jumlah pinjaman atau utang yang diberikan China pada tahun 2010 tercatat sebanyak 40 US Dollar, namun pada tahun 2020 menjadi 160 USD, artinya naik 3 hingga 4 kali lipat.
Adapun negara-negara tersebut banyak menggunakan utang kepada China tersebut dalam rangka membangun infrastruktur ataupun proyek-proyek pembangunan berupa fisik lainnya.
Berkembangnya jumlah utang yang disalurkan China tersebut juga tidak terlepas dari program Belt Road Initiative yang diinisasi oleh pemerintah China, Xi Jinping semenjak tahun 2011 lalu.
Adapun tujuan dari program tersebut tidak terlepas dari keinginan China untuk meningkatkan perekonomian dunia, dan menciptakan sebuah jalan baru agar terciptanya peluang bisnis lebih besar bagi China.
Selain itu program ini juga menjadi ambisi china untuk menguasi jalur sutra, atau jalur perdagangan internasional yang melewati lebih dari 60 negara di dunia, termasuk salah satunya selat malaka.
Berdasarkan laporan dari ED Data tersebut, dikatakan bahwa implementasi dari program BRI sudah mencapai 13.427 proyek pembangunan dengan biaya sekitar 843 miliar USD.
Indonesia sendiri menjadi salah satu negara di dunia yang juga mendapatkan utang dari China. Berdasarkan hasil laporan dari Bank Indonesia tahun lalu.
China menjadi negara keempat yang memberikan pinjaman atau utang kepada Indonesia, diurutan teratas masih ada Singapura, Amerika Serikat dan Jepang.
Dari data statistik utang luar negeri yang dirilis BI pada tahun 2022, terlihat bahwa jumlah utang luar negeri Indonesia kepada China sebanyak Rp326,7 triliun.
Namun disisi lain, dari hasil riset Ed Data tersebut menyatakan, bahwa hampir 50 persen dari pinjaman luar negeri China kepada negara-negara berkembang tersebut tidak tercatat dalam neraca keuangan pemerintah.
Tidak tercatat dalam statistik utang luar negeri, karena banyak dari pinjaman tersebut masuk ke lembaga-lembaga keuangan seperti bank negara, perusahaan swasta atau usaha patungan (Konsorsium) sehingga tidak menjadi utang pemerintah.
Berdasarkan laporan dari BBC Indonesia bersama pengamat ekonomi Bima Yudhistira dikatakan, bahwa terdapat beberapa faktor yang membuat utang ke China itu menarik.
Pertama adalah tenor utangnya jangka panjang, kedua, secara bunga jauh lebih murah dibandingkan negara lainnya, kemudian kajian awal terhadap proyek tidak seketat kreditur lainnya.
Namun disisi lain, dengan kemudahan yang didapatkan, lantas menimbulkan kekhawtiran bahwa utang tersebut sulit untuk dilunasi.
Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab hutang tersebut sulit dilunasi adalah terkait dengan produktivitas dari proyek yang didanai oleh utang China tersebut.
“Permasalahannya, ternyata proyek-proyek yang dibuat China ini, berbeda dengan Jepang dulu, produktivitasnya dipertanyakan,” ucap Telisa, dosen Universitas Indonesia.
Disaat pembangunannya masih berjalan, ditambah produktivitasnya masih diragukan, sedangkan utangnya sudah berjalan, maka ini akan membuat posisi untuk membayar hutang menjadi sulit.
Terdapat beberapa negara yang tercetat pernah gagal bayarhutang ke China hingga asetnya berhasil dikuasai oleh China, yakni Sri Lanka, Negeria, Zaimbabwe dan Uganda.
Dengan contoh-contoh kasus serta berbagai proyek di Indonesia yang melibatkan China seperti kereta api cepat Jakarta-Bandung, apakah Indonesia akan mengalami hal-hal yang sama seperti negara-negara tersebut? [Democrazy/Haluan]