DEMOCRAZY.ID - KISAH Bung Hatta dan sepatu kulit Bally ini begitu melegenda. Cerita yang layak diceritakan di setiap generasi karena memberi pelajaran penting tentang kesederhanaan, meski punya kuasa dan jabatan.
Cerita ini ternukil dalam buku ”Untuk Republik: Kisah-Kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa” yang ditulis Faisal H. Basri dan Haris Munandar.
Hatta adalah contoh bagaimana seorang pejabat menjalankan kehidupan yang jujur dan bagaimana seorang manusia membaktikan hidup pada negara yang dicintainya.
Hatta begitu teliti dalam menggunakan uang. Ia hanya menggunakan uang yang memang haknya.
Ia tidak mau menggunakan mobil dinasnya untuk keluarga. Ia tidak mau menggunakan uang negara untuk kepentingan keluarganya dan pribadinya. Uang negara yang dianggarkan untuknya untuk kelancaran pekerjaannya.
Pada suatau malam pertengahan 1950-an, Hatta tengah membaca koran lantas melihat iklan sepatu kulit Bally. Hati Hatta kepincut dan ingin memilikinya.
Mungkin dengan jabatan yang dimiliknya, Hatta bisa dengan mudah mendapatkan sepatu tersebut.
Tapi ‘Bapak Koperasi Indonesia’ itu memilih menggunting iklan sepatu dan menyimpannya.
Hal ini untuk memotivasi dirinya menabung guna membeli sepatu tersebut.
Namun impian itu hanya tinggal impian. Hatta tidak pernah bisa mewujudkan mimpinya baik semasa menjadi Wakil Presiden ataupun saat ia pensiun.
Ketika pensiun Hatta memang kerap mendapat honor dari tulisan-tulisannya di media massa dan sedikit uang pensiun jabatan Wakil Presiden RI.
Tapi, dengan uang sebegitu kecil ia harus membayar listrik dan menghidupi keluarganya dengan cara yang jujur.
Mendengar Hatta kesulitan membayar listrik, Gubernur DKI Ali Sadikin langsung membantu Hatta untuk membayar listrik.
Hatta mengembuskan napas terakhirnya pada 1980. Di laci Hatta masih tersimpan guntingan iklan sepatu Bally yang tidak sempat dibeli Hatta karena kurang uang.
Bung Hatta memilih untuk tidak memilikinya. Padahal, dengan jabatannya sebagai wakil presiden, apalagi dia juga berasal dari keluarga yang tak kekurangan, bukan perkara sulit untuk mendapatkan sepatu itu.
Hatta bersikukuh memilih untuk tidak memilikinya karena dia memilih untuk hidup sederhana. [Democrazy/Oke]