DEMOCRAZY.ID - Analis Politik dan Militer Unas Jakarta, Selamat Ginting, menyoroti peristiwa penyerangan KKB ke prajurit TNI di Mugi, Nduga, Papua, baru-baru ini.
Serangan KKB yang berhasil menewaskan sejumlah pasukan elite TNI, tentu dianggap sebagai sebuah keprihatinan luar biasa.
Mengingat Kopassus adalah prajurit yang tak hanya dihormati di kalangan TNI, tetapi juga di kalangan pasukan khusus internasional.
Lantas, apakah betul KKB sehebat itu hingga bisa menewaskan 5 prajurit pilihan TNI dalam misi operasi penyelamatan Pilot Susi Air?
Kata Ginting, informasi perihal bentrok KKB dengan TNI juga masih belum jelas statusnya.
Apakah benar terjadi tembak-menembak, apakah penyerangan, atau justru penghadangan. Sebab ketiga hal itu memiliki konteks berbeda-beda.
"Kalau saya memahami ini pasti bukan tembak-menembak. Sebab jika tembak-menembak lalu Kopassus itu kalah, enggak masuk akal. Karena Kopassus maupun Rider ini adalah pasukan-pasukan elite yang terlatih," kata dia di saluran Youtube Hersubeno Point, disitat Kamis 20 April 2023.
Ginting lantas membandingkannya dengan upaya penghadangan. Penghadangan umumnya dilakukan ketika prajurit tengah melakukan patroli, tetapi kemudian dihadang dengan serbuan tembakan dan sejenisnya.
KKB Pasti Serang Pos TNI
Bagi Ginting, logika yang tepat dari peristiwa KKB vs TNI di Mugi, Nduga, Papua adalah memang penyerangan terhadap pos, di mana di sana ada kelengahan para prajurit Kopassus.
"Kopassus itu kalau adu tembak tentu tidak kalah. Karena kualifikasinya yang telah diakui oleh dunia adalah kemampuan personelnya, dan bukan alutsistanya," kata dia.
Hingga kini Kopassus masih berada di posisi tiga besar dunia untuk pasukan khusus, di bawah SAS Inggris, dan Mossad dari Israel.
Andaipun kemampuan prajurit Rider yang diragukan, dia tetap tak mengamininya. Sebab Rider memiliki satu tingkat di bawah Kopassus.
Rider ini juga dianggap pasukan ngeri karena memiliki kualifikasi untuk medan pertempuran di hutan, gunung, rawa, laut, sungai maupun udara.
"Jadi mereka memang dilatih untuk perang jarak dekat, untuk sebagai antiteror, kemudian mereka juga siap untuk pertempuran jangka panjang, dan juga perang gerilya seperti yang dilakukan di Papua," kata dia.
Apa Salah Siasat TNI di Papua
Di kesempatan itu, Ginting kemudian menyinggung evaluasi menyeluruh yang akan dilakukan TNI usai diserang oleh KKB dan menewaskan sejumlah prajurit.
Menurut dia, ada tepatnya juga apa yang disampaikan KSAD Jenderal Dudung Abdurachman.
Hal ini berkaitan dengan kemampuan pasukan-pasukan di lapangan, apakah memang kualifikasinya sesuai dan siap untuk perang di gunung dan perang gerilya?
Ginting lalu mengambil contoh adanya seorang Letnan Dua Marinir yang gugur di sana.
Menurut dia, itu karena Letda Marinir tersebut memang spesialis perang di pantai, dan bukan di gunung seperti di Papua.
"Kan tidak terbiasa, karena dia diskenariokan untuk perang di pantai, bukan di gunung, karena bukan spesialisnya begitu. Jadi betul kalau ada pernyataan KSAD Jenderal Dudung Abdurachman bahwa kita perlu evaluasi, jangan-jangan memang ada yang keliru," katanya.
Maksud keliru di sini, kata dia, bisa jadi soal siapa prajurit yang harus maju lebih dahulu, dan bagaimana peran intelijen harus benar-benar diperkuat.
Apalagi yang dihadapi adalah gerakan separatis yang turut adanya intervensi internasional.
Ginting juga mendorong agar penanganan di Papua untuk memberantas KKB, TNI dalam hal ini mempercayakan satuan organik, bukan satuan tugas.
Mengapa? Ini diharap agar muncul keterbiasaan pasukan dengan medan perangnya.
"Semisal Yonif 321 Majalengka. Di Majalengka Jawa Barat itu medannya tidak ada yang sama dengan Papua, mestinya mereka pra tugas dulu di Papua tiga bulan, baru dinyatakan siap untuk operasi."
"Ini kan tidak, langsung operasi, ini yang kita kurang mengenal medan tugas, dari wilayah topografi dan geografi Papua," katanya. [Democrazy/poskota]