Putusan Sesat Penundaan Pemilu PN Jakarta Pusat
Oleh: Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.
(Guru Besar Hukum Tata Negara, Eks Wakil Menteri Hukum dan HAM)
Tadi malam waktu Melbourne, telepon genggam saya diramaikan oleh beberapa pesan masuk yang menanyakan tanggapan saya atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait gugatan yang diajukan Partai Prima.
Hebatnya lagi, dari biasanya butuh waktu cukup lama untuk mendapatkannya, Salinan Putusan tersebut bisa langsung beredar. Ini prestasi yang patut diapresiasi, sekaligus menimbulkan pertanyaan, kenapa bisa secepat itu, berbeda dari kebiasaannya.
Putusan ini menjadi ramai dan viral, karena di dalam butir ke-5 amar putusan, dinyatakan:
Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari.
Lebih jauh, butir ke-6 amar putusan memerintahkan:
Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta-merta (uitvoerbaar bivoorraad).
Putusan yang demikian segera menghadirkan penafsiran bahwa Pemilu 2024 harus ditunda, apakah benar demikian?
Saya berpandangan pemilu tidak dapat, dan pastinya, tidak boleh ditunda!
Ada Panca Cacat Putusan PN Jakarta Pusat yang menyebabkan putusan tersebut wajib tidak dilaksanakan, apatah lagi serta-merta.
Pertama, setiap putusan memang harus dihormati dalam artian jika putusannya tidak mengandung cacat hukum yang fatal dan menyebabkannya menjadi tidak dapat dilaksanakan alias non-executable. Putusan PN Jakarta Pusat jelas mengandung cacat hukum yang mendasar sehingga tidak dapat dilaksanakan.
Akan ada perdebatan soal butir ke-6 amar yang memerintahkan putusan serta-merta dilaksanakan, namun hal itupun harus diabaikan dengan argumentasi yang saya jelaskan di bawah ini.
Kedua, kesalahan dan cacat mendasar yang dilakukan Majelis Hakim adalah memutuskan perkara yang bukan yurisdiksinya, alias wilayah hukumnya untuk memutus perkara; sehingga menjatuhkan amar yang lagi-lagi bukan kewenangannya.
Setiap pengadillan mempunyai wilayah kerja masing-masing, itulah yang disebut dengan yurisdiksi, alias kompetensi peradilan. Tidak bisa perkara pidana, disidangkan dalam majelis hukum perdata. Tidak bisa perkara tata usaha negara disidangkan oleh peradilan umum.
Dalam perkara ini, soal tidak lolosnya Partai Prima sebagai peserta pemilu, adalah masuk ke ranah “Sengketa Proses” Pemilu, yang berbeda dengan “Sengketa Hasil” Pemilu, yang merupakan yurisdiksi Mahkamah Konstitusi.
Untuk “Sengketa Proses” Pemilu, yang berwenang menjadi pengadil adalah Bawaslu RI, dan hanya dapat diajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 466 – 471 UU Pemilu). Sengketa proses inilah yang pernah kami advokasi ketika menjadi kuasa hukum Partai Ummat, melalui proses mediasi di Bawaslu, dan akhirnya menghasilkan keputusan Partai Ummat lolos sebagai peserta Pemilu 2024.
Pengadilan Negeri karenanya, TIDAK mempunyai kompetensi untuk memeriksa, mengadili, apalagi memutus segala sesuatu terkait “Sengketa Proses” Pemilu, dalam kasus ini adalah proses verifikasi Partai Prima untuk menjadi peserta pemilu 2024.
Apalagi, Partai Prima sebenarnya juga telah melakukan langkah dan gugatan hukum soal kepesertaan pemilunya kepada Bawaslu dan PTUN, yang sudah divonis, dan sudah berkekuatan hukum tetap.
Artinya soal kepesertaan Partai Pemilu Partai Prima, sudah final dan mengikat, tidak ada upaya hukum lain. Apalagi melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri, yang nyata-nyata tidak berwenang memutus “Sengketa Proses” Pemilu.
Ketiga, karena memasuki kamar yurisdiksi yang bukan kewenangannya, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya terjebak untuk mengeluarkan amar putusan yang juga keliru, alias cacat hukum. Amar ke-5 yang pada intinya menghentikan tahapan pemilu, dan mengulangnya lagi sedari awal, jelas menabrak banyak norma hukum. Pertama sekali, putusan demikian menabrak norma konstitusi, yang memerintahkan pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun, tidak dapat ditunda.
Selanjutnya, putusan PN Jakarta Pusat juga menabrak norma dalam UU Pemilu yang telah mengatur bahwa pemilu hanya bisa ditunda karena adanya “kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan” tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan (Pasal 431 – 433 UU Pemilu).
Karena menabrak berbagai norma hukum tersebut, maka Putusan PN Jakarta Pusat, lagi-lagi tidak dapat, bahkan tidah boleh dilaksanakan.
Keempat, membawa persoalan “Sengketa Proses” Pemilu ke pengadilan negeri, jelas langkah hukum yang keliru; Namun pengadilan negeri yang mengabulkannya, lebih keliru dan lebih mengherankan lagi. Ada apa? Mengapa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sampai tidak memahami batas kewenangan dan kompetensinya?
Kalaupun Pengadilan Negeri akan diberikan ruang untuk memutus isu perdatanya, padahal seharusnya pun tidak (quod non), maka putusannya harusnya tidak boleh berlaku umum (erga omnes) sebagaimana suatu putusan tata negara dalam hal pemilu.
Salah satu karakteristik putusan perdata adalah hanya berlaku untuk para pihak yang berperkara, karena menyangkut persoalan di antara penggugat dan tergugat saja.
Sehingga tidak bisa perkara perdata keputusannya sampai menunda pemilu yang mengikat agenda publik, agenda negara, mengikat para pihak di luar yang sedang berperkara. Itulah kesalahan konseptual dan kecacatan mendasar lain dari Putusan PN Jakarta Pusat tersebut.
Kelima, karena masuk ke wilayah kerja yang bukan yurisdiksinya, memutus amar yang bukan kewenangannya dan berkonsekwensi menunda pemilu, maka amar ke-6 nya soal putusan serta-merta pun tidak dapat dilaksanakan (non-executable).
Suatu putusan yang dilaksanakan secara serta-merta (uitvoerbaar bivoorraad) meskipun ada perlawanan atau banding sebenarnya adalah konsep perdata (Pasal 180 HIR) dan lebih terkait soal kewajiban pembayaran yang harus dilaksanakan segera agar tidak makin merugikan korban.
Karenanya tidak tepat sama sekali diterapkan dalam perkara tata negara, apalagi dengan konsekwensi menunda pemilu. Maka, amar putusan serta-merta itu pun wajib diabaikan.
Terakhir KPU bukan hanya wajib mengajukan perlawanan hukum dan menyatakan banding atas putusan PN Jakarta Pusat tersebut, KPU juga harus terus menjalankan tahapan pemilu tanpa terganggu.
Jangan sampai penundaan pemilu menjadi kenyataan. Saya mendengar trisula skenario penundaan pemilu, yaitu (1) Dekrit Presiden, (2) Sidang Istimewa MPR, dan (3) Putusan MK yang memutus perubahan sistem pemilu proporsional sekaligus menunda pemilu.
Apapun skenarionya, penundaan pemilu yang demikian adalah pelanggaran dan bencana konstitusi yang harus kita lawan dengan lantang, karena akan makin mengkhianati dan merusak demokrasi di tanah air.
Melbourne, 3 Maret 2023
(Denny Indrayana)