DEMOCRAZY.ID - Transaksi mencurigakan Rp 349 triliun yang diungkap oleh Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) yang diduga merupakan tindak pidana pencucian uang mengingatkan pengalaman Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo saat berada di dalam kabinet sebagai Panglima TNI.
Gatot merasa sedih, presiden dianggap bodoh oleh para pembantunya. Ia menceritakan pengalaman masa lalu dengan penuh keharuan.
“Saya menjadi ingat pernyataan Mayjen TNI Soenarko bahwa pemerintah menganggap rakyatnya buta, tuli, dan tolol. Tetapi saya koreksi, bukan begitu. Dari pemaparan para pembicara tadi saya berprasangka positif, karena saya dulu menterinya Jokowi. Jadi, justru pembantu Jokowi itu yang menganggap presidennya buta, tuli, dan tolol,” kata Gatot dalam diskusi publik Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dengan tema Potret Kejahatan Keuangan di Kemenkeu, Senin, 20 Maret 2023 di Jakarta.
Gatot meyakini gonjang-ganjing keuangan di Kementerian Keuangan itu bersifat politik.
“Kesimpulan saya, semua ini faktor politik,” paparnya.
Gatot lantas membuktikan dan menceritakan pengalaman masa lalunya ketika berbincang dengan Menteri Sekretaris Negara, Pratikno.
“Saya buktikan, pada September 2015 saya ditelefon oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Pak Gatot, kemarin presiden rapat terbatas bidang ekonomi, beliau marah. Beliau habis dilapori oleh Dirjen Pajak yang katanya perolehan pajak semuanya baik-baik saja. Tiba-tiba beliau dapat informasi bahwa pajak bulan September 2015 baru mendapat Rp650 Triliun dari target Rp1.292 Triliun.
Presiden mendapat masukan bahwa tiga bulan terakhir yakni Oktober, November, Desember diambil perolehan pajak tertinggi. Tahun 2012, 2013, dan 2014 bulan Oktober tertinggi, November tertinggi, dan Desember tertinggi. Setelah digabungkan ternyata cuma Rp1.008 Triliun. Itu bisa mengakibatkan defisit anggaran,” papar Gatot.
Gatot tak habis pikir, para pembantunya memberlakukan presiden seperti itu. Seakan-akan presiden tidak tahu apa-apa. Padahal yang mengungkap kejanggalan perolehan pajak itu, presiden sendiri.
“Bayangkan seorang presiden dibegitukan. Anehnya beliau sendiri yang menemukan kejanggalan ini. Sekarang ada usulan agar pakai Surat Utang Negara (SUN), ternyata tidak bisa.
Waktu itu kebetulan akan terjadi Pilkada serentak dan kepala daerah takut KPK, di mana ada Rp270 Triliun di Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang masing-masing dijadikan dana pinjaman. Dalam situasi normal, Presiden tidak dianggap punya pemikiran, tidak dianggap tahu, “ tegasnya.
Pada satu kesempatan, lanjut Gatot, presiden menyatakan bahwa ekspor sejak 2020 naik drastis, tapi yang masuk kok cuma 15 persen. Bahkan Bank Indonesia sendiri menyatakan bahwa devisa masuk semua.
“Maaf saya katakan, presiden ini dianggap oleh pembantunya seperti itu. Presiden mengatakan banyak yang masuk, tetapi nyatanya kok tidak ada yang masuk. Padahal Bank Indonesia sebagai pengawas sumber daya manusia, perkebunan, kehutanan, kelutan, dan pertambangan, begitu keluar dari kepabeanan diawasi oleh Bank Indonesia, tiga bulan kemudian harus masuk ke rekening khusus devisa, di mana rekening khusus devisa ini tidak boleh dari bank-bank yang punya cabang di luar negeri, jadi harus masuk ke Indonesia.
Lalu para eksportir harus punya escort account yang kalau ada apa-apa bisa langsung diambil. Dan itu harus tiga bulan kemudian. Kemudian otoritas jasa keuangan (OJK) juga mengadakan pengawasan keluar masuknya. Bea cukai juga mendapat laporan dari Bank Indonesia,” kata Gatot.
Gatot merasa optimistis kalau para pembantu presiden jujur dan transparan, semua kejanggalan bisa diungkap. Mekanismenya sudah jelas, namun tidak dilakukan.
“Saya yakin, kalau Bank Indonesia, bea cukai, dan OJK dicek secara bersama-sama, pasti perusahaan-perusahaan temannya para menteri itu tidak masuk. Pasti ada di rekening yang lain. Maka, gak pernah masuk-masuk. Semuanya ini mereka kira presiden tidak tahu. Padahal solusinya gampang, tinggal cek saja,” paparnya.
Yang membuat Gatot terheran-heran berkaitan dengan devisa adalah upaya presiden melakukan revisi PP tentang Devisa Hasil ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan Pengolahan Sumber Daya Alam untuk mendongkrak devisa namun malah menjadi keanehan.
“Tetapi anehnya, direvisi-lah PP No. 1 tahun 2019. Kemudian kalau lihat datanya, presiden baru mengadakan revisi saja, rupiah sudah terkoreksi meningkat. Ini aneh, rapat terakhir bulan Maret, tetapi sudah naik bulan Januari. Jadi sangat menyedihkan sekali kita punya presiden digitukan.
Padahal ngeceknya gampang sekali, kumpulkan saja BI, Bea Cukai, dan OJK dicek bersama-sama. Saya yakin banyak uang yang mengendap. Maka sering saya katakan, kita ini punya semua, tetapi bukan untuk kita. Saya bersedih, presiden oleh para pembantunya dianggap buta, tuli, dan tolol,” pungkasnya.
Dalam diskusi publik kali ini menghadirkan narasumber Fuad Bawazier (Mantan Menteri Keuangan Kabinet Pembangunan VII), Muhammad Said Didu (Praktisi, Mantan Sekretaris BUMN), Ichsanuddin Noorsy (Pengamat Ekonomi) dan Anthony Budiawan, (Managing Director Politics Economy and Policy Studies), Gatot Nurmantyo, dan dipandu oleh Hersubeno Arief dari FNN (Forum News Network).
Sebelumnya Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyatakan bahwa transaksi mencurigakan sejumlah total Rp 349 triliun yang diungkap oleh Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) diduga merupakan tindak pidana pencucian uang atau TPPU. Menurut Mahfud, TPPU jauh lebih berbahaya dari pada tindak korupsi.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menyebut tindakan Mahfud MD seperti anggota Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM.
“Menko Polhukam sekaligus ketua komite Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD seperti LSM saja,” ungkapnya.
Namun demikian, Anthony mendukung langkah Mahfud hingga tuntas.
“Saya dukung Mahfud yang ingin mengungkap kasus ini hingga tuntas. Dia bilang bahwa harus ditindaklanjuti. Dia itu konsisten sejak awal. Ia ingin meluruskan jalan menghadirkan keadilan,” pungkasnya. [Democrazy/FNN]