Ancaman Banjir di IKN
BANJIR di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, pada akhir pekan lalu menunjukkan kesembronoan pemerintah dalam merencanakan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Buah dari sikap abai selama puluhan tahun terhadap kelestarian hutan, banjir di kawasan inti pusat pemerintahan IKN tersebut bukanlah yang pertama kali terjadi.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Penajam Paser Utara mencatat, sepanjang 2019 hingga Januari 2022, Kecamatan Sepaku—khususnya Kelurahan Sepaku dan Pemaluan—sudah disambangi banjir 15 kali. Dalam setahun, satu wilayah yang sama bisa digenangi air sebanyak dua hingga tiga kali.
Banjir terbaru yang terjadi pada Jumat pekan lalu, menurut BPBD, melanda tiga RT di Kelurahan Sepaku. Diperkirakan hujan berintensitas tinggi di daerah hulu sungai memicu banjir kiriman yang membuat air Sungai Sepaku meluap. Hal ini berdampak pada naiknya muka air di area rendah dan sekitar bantaran sungai.
Akibatnya, puluhan rumah terendam air setinggi 40-50 sentimeter. Air tidak hanya menyambangi Kelurahan Sepaku, tapi juga mendatangi Kelurahan Pemaluan. Menurut warga setempat, wilayah Pemaluan, yang berada dekat dengan daerah aliran sungai, mengalami banjir dengan ketinggian hingga 1,5 meter. Terparah sejak 2010.
Para pegiat lingkungan sejak 2019 sudah mewanti-wanti pemerintah perihal potensi bencana banjir di kawasan inti IKN. Pemicunya bukan hanya intensitas curah hujan yang tinggi dan tingkat kemiringan lahan.
Yang paling berbahaya adalah perubahan fungsi hutan menjadi pertambangan batu bara, hutan tanaman industri, serta perkebunan sawit.
Ulah manusia menjadi pangkal masalah. Eksploitasi lahan membuat pohon endemik sebagai penyangga utama air hujan menghilang digantikan tanaman homogen, juga lubang-lubang tambang yang menganga. Akibatnya, ketika hujan turun di hulu sungai, air mengalir deras ke tengah dan hilir sungai yang mengalami pendangkalan selama puluhan tahun.
Walhasil, bukannya mendapat berkah kesejahteraan dari eksploitasi berlebihan yang dilakukan pemilik modal terhadap alam, warga Penajam Paser Utara justru mendapat limpahan bencana banjir.
Kesialan rakyat bertambah dengan kedatangan megaproyek IKN ke Sepaku karena ditengarai membuat banjir bertambah teruk.
Sialnya, banjir kali ini lebih lama surut ketimbang tahun-tahun sebelum proyek pembangunan intake Sungai Sepaku berjalan. Kehadiran fasilitas pemasok air baku untuk IKN itu justru menurunkan kemampuan tanah menyerap air. Pekerjaan pembangunan kawasan IKN juga menghabiskan banyak pepohonan di wilayah Sepaku.
Upaya memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Nusantara dengan janji manis untuk membangun ibu kota modern yang pintar, ramah lingkungan, dan berkelanjutan terbukti meleset.
Presiden Joko Widodo kini justru dihadapkan pada kenyataan yang menampar wajah pemerintah dengan keras, yakni kerusakan lingkungan di kawasan inti IKN.
Benar, pemerintah mengklaim menyiapkan sejumlah proyek antisipasi banjir, seperti pembangunan bendungan Sepaku Semoi, intake Sungai Sepaku, dan sejumlah kolam retensi. Lalu, pemerintah menyiapkan pompa air berkapasitas besar, menormalisasi sungai sepanjang 25 kilometer, dan menghilangkan penyempitan di lima titik saluran air.
Tapi semua solusi tersebut sama sekali tidak menyinggung persoalan pokok penyebab banjir, yaitu kerusakan lingkungan di hulu sungai akibat kegiatan ekstraktif yang tidak terkendali. Seharusnya, di sisa usia pemerintahannya yang tinggal 1 tahun 6 bulan, Presiden bersungguh-sungguh membenahi hulu sungai yang porak-poranda.
Semata-mata membangun infrastruktur penanggulangan banjir di hilir sungai tanpa membenahi kawasan hulu hanya akan mengulangi kesalahan yang sama, yaitu pembangunan berbasis proyek dan pemborosan anggaran.
Sementara itu, banjir ataupun bencana lainnya akan datang silih berganti karena kerusakan di hulu diabaikan dengan dalih penerimaan negara.
Tidak ada cara lain. Eksploitasi lahan berlebihan di hulu Sungai Sepaku yang mengubah tutupan hutan dan menekan daya serap daerah aliran sungai mesti dihentikan.
Belajarlah dari pengalaman untuk tidak “potong kompas” dan menggantungkan semua solusi pada pembangunan fisik. Bila tidak, pembangunan IKN akan terus membawa masalah bagi masyarakat.
[Sumber: Editorial Koran TEMPO, 21-03-2023]