Oleh: Smith Alhadar
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
Cucunda tercinta,
Semoga kau sekeluarga sehat, sejahtera, dan bahagia. Sekarang sudah pukul 2.00, apakah kau sudah shalat tahajut? Nenek tahu sejak kecil kau tak pernah melupakan Tuhan, tapi kali ini kau harus perbanyak shalat dan zikir karena tantangan hidup yang kau hadapi hari ini, lebih dari kapan pun, sungguh sangat berat, walaupun kau tak pernah katakan pada nenek.
Sebenarnya nenek ingin kau tinggalkan dunia politik — yang penuh intrik, kemunafikan, dan ancaman — agar kau tak difitnah dan memikul beban politik nasional di atas pundakmu yang ringkih. Toh, kau bisa mengabdikan tenagamu untuk bangsa muda ini di bidang lain. Pekerjaan “Gerakan Indonesia Mengajar” yang telah kau mulai bisa kau teruskan.
Bukankah ini perintah agama untuk memberdayakan umat yang masih terbelakang? Apalagi kau pernah bilang, hanya melalui pendidikanlah banga ini bisa bangkit mengejar ketertinggalannya. Walakin, nenek juga sadar, berpolitik adalah sunnah Nabi, untuk menghadirkan “baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur”.
Dus, nenek ikhlaskan jalan politik yang kau pilih karena hanya melalui politik pemimpin yang amanah mampu memajukan banyak hal dari bangsanya. Nenek juga tak henti berdoa semoga kau sukses dan selamat. Orang bilang nenek makin kurus belakangan ini. Mungkin karena nenek menghabiskan malam-malam nenek memikirkanmu. Di televisi nenek melihat kau kelelahan. Siapa yang tega, coba. Padahal dulu nenek tak mau kau melakukan hal berat.
Kau lucu dan kadang aneh, kecil tapi berani melawan kekuatan besar, seperti Daud menantang Jalut atau Musa melawan Fir’aun. Kok kau begitu berani! Watakmu ini membuat nenek bangga, sekaligus khawatir. Bukankah kesatria yang cerdas dan tulus tidak selalu menjamin kemenangan? Malah bisa mendatangkan marabahaya.
Tapi tak usah kau taruh di hati atas kecemasan nenek, karena hal ini tidak ada artinya dibandingkan tekanan yang kau hadapi. Malah, kalau boleh, nenek yang menanggung jeroan duniawi yang kau pikul. Kau cucu yang paling nenek kasihi. Sejak kecil kau tak pernah mengeluh dan selalu membangkitkan optimisme yang datang dari senyummu. Ya Allah, lindungilah cucuku.
Cucunda tercinta,
Melalui pelbagai platform media sosial, nenek menyaksikan kerumunan massa menyambut kedatanganmu di mana-mana, seolah mereka sedang merayakan kemerdekaan. Mengharukan! Mereka sangat berharap kau jadi pemimpin negara ketika pemimpin saat ini tak dapat diharapkan lagi mengubah nasib mereka, yang selalu diperas melalui berbagai pajak atas nama keselamatan negara sambil memanjakan oligarki.
Rakyat ingin perubahan! Tapi apakah harapan mereka bisa terwujud? Orang bilang di antara aspiran capres yang ada, hanya kau yang bisa menghadirkan keadilan bagi semua. Hanya kau yang bisa menyatukan kembali masyarakat yang terbelah. Hanya kau yang bisa mengangkat martabat rakyat yang selalu terhina. Hanya kau yang bisa meneguhkan kembali marwah bangsa besar ini. Aduh, nenek jadi khawatir. Harapan mereka sangat tinggi.
Apakah kau mampu mengubah mimpi mereka jadi kenyataan? Tidak mudah bukan? Nenek khawatir kau tak sanggup merealisasikan harapan muluk-muluk ini. Walakin, nenek tahu sejak kecil kau selalu tidak meyakinkan ketika memulai suatu pekerjaan sampai kau membuktikan sebaliknya.
Dan kau tak pernah gagal. Dulu juga orang meragukan kapasitasmu mengelola Jakarta, mustahil kau bisa menyamai prestasi Ahok yang didewakan banyak orang sampai kau membuat Ahok terlihat kerdil melalui karya-karya besarmu. Sampai-sampai nenek mengeluarkan air mata atas keajaiban yang kau buat. Nenek bahkan kehilangan kata-kata untuk mengungkapkan kebanggaan nenek padamu. Cucu yang disepelekan, tapi selalu berujung kekaguman.
Cucunda tercinta,
Kapan kau pulang kampung? I miss you. Setiap kali melihatmu di televisi, rindu nenek padamu selalu membuncah. Ingin sekali nenek berteriak pada dunia: lihat, ini cucuku! Nenek bersyukur dulu sempat menggendong, memandikan, bahkan ikut membesarkanmu. Sekarang kau telah jadi orang, bahkan masyhur sampai ke manca negara. Nenek ingin sekali lagi memelukmu erat-erat. Sayang kau jauh, sibuk, dan telah menjadi milik publik. Tak apa.
Sekali lagi jangan lupa shalat. Kau bukan saja menghadapi musuh-musuh dalam negeri, tapi juga disorot bangsa-bangsa besar di luar sana. Memang pasti kau lebih tahu dari nenek, tapi kau jangan mengentengkan orang-orang yang membencimu. Gagalnya usaha-usaha mereka menjegalmu, tak berarti mereka telah kehabisan peluru. Bahkan perlawanan mereka kepadamu bakal makin keras dan vulgar.
Komplotan ini sangat powerful sehingga mereka punya semua instrumen untuk mencederaimu. Ingat, orang kalap selalu berbahaya karena dapat bertindak di luar logika, yang sulit kita perkirakan seperti apa. Dalam sejarah dunia, banyak sekali tokoh politik yang dibungkam, dikalahkan, dipenjarakan, bahkan dibunuh, demi kekuasaan yang melindungi kepentingan ekonomi para penjahat.
Bahkan atas nama politik, seorang Hindu bigot mengakhiri hidup tokoh kemanusiaan Mahatma Gandhi. Hidup selalu tak terfahami kecuali orang-orang yang tercerahkan oleh esensi agama. Sudah benar sikap yang kau pilih: santun, tak menjelekkan orang lain, toleran, dan terbuka pada perbedaan pendapat. Selebihnya adalah tawakal.
Kemarin, tetangga yang mengikuti berita bilang kau difitnah punya utang Rp 50 miliar pada sahabatmu. Astaghafirullah! Nenek memang tak percaya pada berita itu, toh sedari kecil kau tak pernah berutang, tapi ini menunjukkan upaya menjegalmu masih terus berlangsung. Ya Allah, lindungilah cucuku! Dia anak baik yang tak pernah berpraangka buruk pada orang lain.
Kalau mendengar berita-berita semacam ini tentang dirimu, keinginan nenek agar kau mundur dari dunia politik muncul kembali. Kau bilang politik itu mulia. Tidak kotor. Yang bikin kotor adalah pelakunya dan di negeri ini masih banyak politisi yang berintegritas. Kau benar! Tapi bukankah politik tak mengenal agama? Sangat banyak contoh tentang pengkhianatan teman sejawat yang shalat lima waktu sehari.
Apapun, nenek ridha atas jalan hidup yang kau pilih. Berjuanglah semampumu dan tetap menjaga amanat penderitaan rakyat yang dititipkan kepadamu. Kalau orang baik tidak berpolitik, maka orang jahat akan mengendalikan mereka. Nenek ingat dulu kau sering mengutip bait puisi Chairil Anwar: “Sekali berarti, sesudah itu mati”.
Memang hidup setiap insan tidak boleh sia-sia. Allah menciptakan manusia sebagai khalifah-Nya di bumi untuk merayakan kehidupan biar pun susah sungguh peran itu. Jalankan peranmu sesuai dengan porsi yang ditakdirkan Tuhan atas dirimu. Siapa tahu niat baikmu memajukan bangsa ini dikabulkan Allah. Apakah nenek bicara terlalu banyak?
Biarkan kali ini nenekmu yang bodoh ini mengungkapkan pikiran dan perasaan nenek agar kau istiqamah di jalan kebenaran. Kemarin, Darto teman bermain masa kecilmu, menanyakan kapan kau mudik. Dia bilang, di depan rumahnya sudah dia pajang spanduk dari kain bekas “Anies for President”. Kasihan, hidupnya susah, cuma kerja serabutan. Padahal, anaknya lima. Orang-orang cuma ketawa ketika dia bilang ingin menyekolahkan anaknya agar jadi orang seperti kau.
Cucunda tercinta,
Kau mungkin heran, tumben nenek bicara politik. Kau tahu, sejak kau berkiprah di politik, nenek rutin mengunjungi Prof Fatimah az-Zahrah. Masih ingat bukan, Prof Fatimah yang selalu rapi, yang rajin mengurus anggrek di halaman rumahnya, dan selalu membuka pintu rumahnya untuk siapa pun yang butuh pertolongannya. Wejangan-wejangannya tentang politik nasional dan internasional sungguh mengagumkan. Tahu nenek tak banyak tahu politik, dia menjelaskan dengan pelan dan sabar sehingga nenek tercerahkan. Jangan ketawa, nenek bicara serius.
Beliau bilang, kau disorot dunia internasional karena posisi geografis Indonesia sangat strategis — diapit dua samudera — dalam konteks persaingan Cina dan AS di Indo-Pasifik, khususnya di ASEAN terkait klaim Cina atas 90 persen . Laut Cina Selatan (LCS). Politik sangat menarik meskipun sering juga membuat dada berdebar.
Katanya, Cina tak menghendaki kau menjadi presiden Indonesia mendatang. Terutama karena kau tak akan permisif terhadap semua kiprah Cina di negeri kita dan di LCS. Kau memang tak akan mencari gara-gara dengan negeri Tirai Bambu itu, tapi segala hal terkait Cina yang dipandang merugikan bangsa akan kau koreksi. Katanya lagi, mungkin saja kau akan tilik ulang proyek-proyek tambang dan infrastruktur milik Cina yang merugikan ekonomi Indonesia, sebagaimana PM Malaysia Mahathir Mohammad melakukannya.
Apakah benar demikian? Nenek kok jadi percaya pada argumen Prof Fatimah. Masuk akal. Dia bilang, Beijing berusaha memanjakan Indonesia dengan investasi agar secara bertahap Indonesia masuk ke dalam lingkungan hegemoninya. Apalagi kalau utang kita tak terbayar. Nenek jadi teringat perkataan kakekmu bahwa kekuatan imperialisme selalu mencari jalan untuk menelikung negara lemah yang akan dijadikan pasar.
Kalau Indonesia bisa dijadikan mitra yunior Cina, maka sebagian Indo-Pasifik, terutama ASEAN, akan dapat dikendalikan. Kecondongan Jakarta pada Beijing dapat dilihat dari Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik yang dirilis Kemenlu baru-baru ini, di mana strategi ASEAN di bawah keketuaan Indonesia pada tahun ini sama sekali tidak menyinggung LCS, apalagi ancaman Cina terhadap Taiwan dan kasus nuklir Korea Utara. Prof Fatimah sampai goyang-goyang kepala.
Padahal, Beijing mengklaim Laut Natuna Utara, zona eksklusif Indonesia, sebagai miliknya. Negara macam apa ini, kata beliau. Bila terjadi konflik terbuka antara Cina dan Taiwan yang dibantu AS, dampak kepada Indonesia sungguh besar. Demikian pula bila meletus perang Korea Utara yang disokong Cina dan Korea Selatan yang dibantu AS.
Yang lebih mengejutkan, Indonesia tak menyinggung isu LCS. Padahal, empat negara ASEAN plus Taiwan terlibat klaim tumpang tindih dengan Cina atas pulau-pulau Spratly dan Paracel di LCS. Kebijakan politik regional Jakarta yang tak menyinggung isu-isu ini jelas menunjukkan pemerintah kita tak ingin dilihat kritis terhadap isu-isu yang melibatkan Cina. Nenek sangat berterima kasih kepada Prof Fatimah atas pencerahan yang beliau sampaikan.
Atas kecondongan Jakarta yang pro-Cina ini, katanya mengkawatirkan AS. Indonesia adalah akses Cina ke Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Cina beruntung pemerintah kita mewarisi politik condong ke Cina yang diwariskan Bung Karno, meskipun publik Indonesia khawatir fenomena Cina di negeri ini mengancam kedaulatan negara. Maka tidak ada jalan lain bagi AS dan sekutunya kecuali menyaksiksn perubahan pemerintahan di Indonesia. Pemimpin baru diharapkan mengambil kebijakan lebih berimbang di antara dua raksasa yang bertarung.
Pemimpin baru itu adalah kau, kata Prof Fatimah. Kau, mau tak mau, akan menjawab keresahan publik dengan bersikap lebih proporsional terhadap Beijing. Terutama lantaran pendukungmu adalah orang yang paling risau atas perangai Cina. Untuk itu, katanya, kau akan memperkuat kerja sama strategis komprehensif dengan negara-negara di kawasan, termasuk AS. Dengan begitu, Indonesia menjadi lebih kuat, lebih independen, dan lebih leluasa menjalankan politik regionalnya. Nenek bersyukur diberikan ilmu oleh Prof Fatimah.
Mungkin kau sudah ngantuk mendengar ocehan nenek. Istirahatlah. Salam buat istri dan anak-anakmu. Kalau ada kesempatan, pulanglah dulu ke Yogya. Nenek kangen pada kalian semua. Barusan nenek dapat kiriman bumbu makanan yang kau suka. Kalau mau datang, kabarkan. Biar nenek siapkan makanan kesukaanmu, sayur lodeh. Jangan mengira nenek tak punya tenaga lagi. Nenek masih kuat dan ingin melihat kau jadi presiden untuk bangsa yang dulu diperjuangkan kakekmu untuk kemerdekaannya. Peluk cium untuk kau sekeluarga. Salam.
Tangsel, 11 Februari 2023
[Democrazy/SuaraNasional]