DEMOCRAZY.ID - Jalan Anies Baswedan menjadi calon presiden mulai digoyang dengan isu perjanjian politik dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Tak lama, menyeruak juga soal utang Anies ke Sandiaga Uno sebesar Rp50 miliar.
Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Sandiaga Uno menjadi pertama yang mengungkap perjanjian politik ini.
Menurutnya, ada semacam perjanjian tertulis berisi sejumlah poin. Spekulasi pun muncul, satu di antaranya perihal Anies yang tak boleh menjadi capres selama Prabowo mencalonkan diri.
"[Perjanjian] tertulis, dan untuk episode itu saya mengusulkan Bang Akbar [Akbar Faizal] mengundang Fadli Zon karena dia yang men-draf dan menulis [perjanjian] itu," ujar Sandi dikutip dari kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored, Selasa (7/2).
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon sudah mengonfirmasi perjanjian politik antara Prabowo dan Anies saat Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.
Setidaknya ada tujuh poin yang tertuang dalam perjanjian dimaksud namun tak diungkap detail oleh Fadli.
"Kebetulan saya men-draf, saya menulis, dan ada tujuh poin. Kalau itu urusannya urusan Pilkada," ucap Fadli di Kantor DPP Gerindra, Jakarta Selatan, Senin (6/2).
Seiring waktu berjalan, isu pencapresan tersebut bergeser menjadi soal utang-piutang.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Erwin Aksa menyebut perjanjian jelang Pilkada DKI Jakarta 2017 yang diungkap Sandi berkaitan dengan utang Anies ke Sandi.
"Intinya kalau tidak salah perjanjian utang piutang barangkali ya, yang pasti yang punya duit memberikan utang kepada yang tidak punya duit, kira-kira begitu," kata Erwin masih dikutip dari YouTube Akbar Faizal Uncensored.
Utusan Tim Kecil Anies, Sudirman Said, sudah bersuara merespons isu tersebut.
Sudirman berujar perjanjian dinyatakan selesai apabila Anies dan Sandi maju sebagai pemimpin Ibu Kota saat itu.
Ia membantah isi perjanjian mengatur soal larangan Anies menjadi capres selama Prabowo mencalonkan diri.
"Saya tidak pernah mendengar ada perjanjian semacam itu," kata Sudirman di kawasan Kota Tangerang, Senin (30/1).
Manuver Elite
Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Jati menilai isu perjanjian politik antara Anies dengan Prabowo sebagai manuver elite yang mempunyai kepentingan di 2024 mendatang.
"Yang saya baca dari gonjang-ganjing ini tentu adalah manuver para elite yang saling berlomba untuk nominasi pencapresan di 2024," ujar Wasisto, Selasa (7/2).
Menurutnya, perjanjian politik termasuk utang yang diungkit baru-baru ini mempunyai makna ganda yang pada pokoknya menghalangi jalan Anies menjadi capres di pemilu mendatang.
"Antara itu bermaksud mencegah secara politis langkah pencapresan berikutnya bagi figur tertentu atau memang itu bermaksud bagian dari perang urat saraf (psywar) yang biasa terjadi untuk menaikkan popularitas figur tertentu," ujarnya.
Anies sudah mendapat dukungan sebagai capres dari Partai NasDem, Demokrat dan PKS dengan mengusung nama Koalisi Perubahan.
Suara ketiga partai ini sudah cukup atau memenuhi ambang batas pencalonan presiden.
Sementara itu, Partai Gerindra mengusulkan Prabowo sebagai capres.
Partai Gerindra telah berkoalisi dengan PKB. Namun, kedua partai itu belum menetapkan pasangan capres dan cawapres yang diusung di Pilpres 2024.
Sementara itu, Direktur Eksekutif KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo menyarankan agar Sandi atau pihak yang mengetahui perjanjian tersebut membuka seluruh klausul kepada publik.
Menurutnya, jika melihat isu yang berkembang saat ini yakni terkait utang-piutang, hal itu merupakan bentuk pelemahan terhadap kewibawaan Anies.
"Kalau ada klausul itu dan kemudian diangkat oleh Sandi dan Erwin Aksa padahal mereka tahu ada perjanjian hitam di atas putih, maka jelas ini upaya untuk mendiskreditkan Anies, di-framing seakan-akan kalau Anies orang yang tidak amanah, tidak jujur," kata Kunto.
Meskipun begitu, Kunto berpendapat perjanjian politik yang diungkit oleh Sandi dan Erwin tidak akan menghambat jalan pencapresan Anies.
"Menurut saya apa yang dilakukan Sandi dan Erwin, kalau memang ada bukti yang jelas di perjanjiannya cukup ditunjukkan saja ke publik semua klausul sehingga ini tidak menjadi fitnah, rumor yang tidak jelas. Ketika perjanjian itu keluar kan publik bisa menilai siapa yang bersalah dan benar, siapa yang membuat air menjadi keruh supaya orang bisa memancing di sana," ujarnya.
Bagaimana koalisi perubahan menyikapi isu ini?
Wasisto Jati, peneliti politik dari BRIN menyatakan sebaiknya koalisi perubahan yang terdiri dari NasDem, Demokrat dan PKS tidak memberikan respons terhadap manuver tersebut.
Sebab, hal itu dikhawatirkan menjadi 'bumerang'.
"Dalam konteks ini, idealnya AB [Anies Baswedan] dan koalisi fokus saja pada pencapresannya karena itu berpotensi jadi bumerang," ucap Wasis.
Dia menilai isu perjanjian politik yang kembali diembuskan tidak serta merta memberatkan ikhtiar Anies untuk maju sebagai capres 2024.
"Tergantung dari langkah politiknya ke depan. Apakah keduanya [Sandi dan Erwin] mau maju dalam Pilpres 2024 juga atau menjadi bagian dari tim sukses kampanye figur lain. Karena sebenarnya isu itu adalah isu elite," tutur dia menjawab potensi perjanjian politik menjadi hambatan pencapresan Anies.
Sementara itu, Kunto Adi Wibowo mempunyai pendapat berbeda. Menurut dia, partai-partai di koalisi perubahan harus memberikan respons menyikapi isu perjanjian politik yang sedang diungkit.
"Kalau dilihat kan isu ini sengaja menyerang pribadi Anies, yang diserang adalah kredibilitas dan keutuhan karakternya. Jadi, menurut saya menjadi penting karena dalam capres kan yang dipilih orang karakter dan kredibilitasnya kan dan partai koalisi harus menanggapi secara serius dan proporsional dalam artian tidak perlu over reacting," kata Kunto.
Di samping itu, Kunto menyarankan agar partai-partai politik peserta Pemilu mulai membicarakan program-program, termasuk untuk bakal calon presiden yang hendak diusung.
"Jangan sampai perbincangan kita sampai 2024 dipenuhi isu receh utang-piutang, kalau bisa ya isunya isu substantif," pungkasnya.
Sejauh ini, baru Demokrat yang angkat suara mengenai isu perjanjian politik antara Anies dengan Prabowo saat Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.
Demokrat menantang Sandi membuka secara utuh isi perjanjian dimaksud.
"Membuktikan adalah tugas yang menuduh, bukan yang dituduh," kata Deputi Bappilu DPP Demokrat Kamhar Lakumani.
Sumber: CNN