DEMOCRAZY.ID - Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (8/2/2023), menyampaikan sejumlah pernyataan buntut Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 yang anjlok.
Jokowi meminta agar skor IPK yang anjlok ini dijadikan perbaikan diri.
Indonesia sendiri mendapat poin 34 dari 100 poin. Semakin rendah, berarti tingkat korupsi tinggi.
Sejatinya hal ini tentu tidak mengejutkan. Korupsi di Indonesia memang tak lekang oleh waktu.
Setiap masa, banyak oknum yang menorehkan catatan kelam atas kasus tersebut.
Sejarawan Sri Margana dalam kumpulan tulisan Korupsi Mengorupsi Indonesia (2017) menyebut pendorong praktik koruptif di Indonesia adalah sistem birokrasi patrimonialisme berbasis feodalisme yang dilakukan kerajaan-kerajaan di Nusantara belasan abad lalu. Pada masa itu, ada dua perilaku yang mencerminkan sikap korupsi.
Pertama, adanya sistem upeti atau penyerahan wajib dari seseorang atau kelompok tertentu untuk dibagikan ke penguasa.
Kedua, munculnya kebijakan dari penguasa yang mengalihkan kekuasaannya kepada orang-orang terdekat atau terpercayanya untuk dapat melanggengkan kekuasaan. Dalam bahasa masa kini disebut nepotisme.
Dua sikap tersebut pada saat itu memang lazim. Namun, kelaziman inilah kemudian jadi kegiatan yang wajib dilakukan setelah era kerajaan itu runtuh.
Sekaligus juga membenarkan sikap yang merugikan itu.
Lebih parahnya, orang-orang Belanda yang datang ke Indonesia pada abad ke-17 melanggengkan praktik ini.
Kerja sama yang dijalin antara kongsi Dagang Hindia Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC) dengan raja-raja Jawa membuat kompeni ikut-ikutan tradisi koruptif ini. Bagi mereka, sistem ini banyak memberi keuntungan.
Pegawai-pegawai VOC kerap melakukan jual-beli jabatan dan meminta pungutan kepada para pedagang dan rakyat pribumi.
Begitu juga pribumi yang kerap memberi hadiah kepada para pejabat, seperti hadiah tahun baru, hadiah melahirkan, hadiah pelantikan dan sebagainya.
Akibatnya, tidak ada batas jelas antara pemasukan pribadi dan pemasukan negara. Namun kebanyakan, seluruh uang itu masuk ke dapur pribadi.
Mengutip catatan C.R Boxer dalam Jan Kompeni (1983), mereka juga kerap mengambil keuntungan penjualan rempah untuk kepentingan pribadi.
Dari hasil ini mereka hidup di atas kemewahan. Clive Day dalam The Ducth in Java (1966) menyebut kalau VOC menjadi contoh mencolok perilaku korup.
Akibat ulah para pegawai-pegawainya keuangan VOC pun mulai berdarah-darah ketika memasuki abad ke-19.
Mengutip Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2008), imperium Belanda pertama di Indonesia ini terlena dalam tidur pulas di tengah-tengah merajalelanya korupsi, inefisiensi, dan krisis keuangan.
Saat itu utang VOC menggunung hingga 136,7 juta gulden. Perusahaan dagang terbesar itu akhirnya bubar karena korupsi pada 31 Desember 1799.
Meski demikian, menurut Raffles dalam History of Java, runtuhnya VOC dan pembentukan negara Hindia Belanda justru membuat perilaku korupsi tetap bertahan bahkan berkembang menjadi lebih luas, alih-alih menghilang.
"Sejak kontrol dan regulasi kolonial diperluas, baik pejabat Eropa maupun pribumi dengan sesuka hati melakukan pelanggaran, menikmati sejumlah benefit yang memang menjadi hak mereka, tetapi juga sebagian besar porsi dari sumber daya yang melewati tangan mereka walaupun bukan hak mereka," tulis Margana.
Sikap inilah yang kemudian terus bertahan hingga Indonesia merdeka di tahun 1945.
Indonesia memang sudah merdeka dan menjadi negara modern, tetapi kehidupannya masih mengadopsi karakteristik kolonial, termasuk juga perilaku korupsi yang "dilanggengkan" dan dianggap kelaziman. Artinya, korupsi sudah terlanjur mendarah daging.
Menurut Peter Carey dalam Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi (2017), kesinambungan historis korupsi di Indonesia disebabkan oleh ketiadaan pandangan bahwa korupsi berbahaya bagi kelangsungan negara. [Democrazy/cnbc]