DEMOCRAZY.ID - NGATIJAN, prajurit Pasukan Gerak Tjepat (PGT) sekarang bernama Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) TNI AU mungkin tidak dikenal banyak orang.
Namun berkat kesaktian Ngatijan, teman-temannya berhasil dilindungi dari pembataian saat di dalam penjara.
Dikutip dari buku 'Heroisme PGT Dalam Operasi Serigala: Pengibaran Bendera Merah Putih Pertama di Teminabuan' yang diterbitkan Subdisjarah Dinas Penerangan Angkatan Udara (Dispenau), diceritakan, Ngatijan merupakan salah satu prajurit Korps Baret Jingga yang diterjunkan dalam Operasi Serigala.
Operasi militer berskala besar yang digelar Angkatan Udara Mandala (AULA) di bawah kepemimpinan Panglima AULA Komodor Udara Leo Wattimena yang juga merangkap Wakil Panglima II Komando Mandala (KOLA) ini antara lain, melakukan infiltrasi atau penyusupan ke pertahanan Belanda sebagai pasukan pendahulu sebelum pasukan lainnya masuk ke Papua melalui daerah Sorong dan Teminabuan.
Operasi militer terpaksa diambil lantaran Belanda tidak mau menyerahkan Papua kepada Indonesia. Sikap Belanda tersebut melanggar perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang telah disepakati.
Panglima Komando Mandala (KOLA) Presiden Soeharto yang kala itu berpangkat Mayjen TNI, meminta Leo Wattimena menyiapkan pasukan yang memiliki kemampuan khusus untuk menjalankan operasi infiltrasi dengan cara diterjunkan.
Saat itulah, Leo Wattimena menunjuk Komandan III PGT di PAU Margahayu Letnan Udara (LU) I Lambertus Manuhua untuk memimpin pasukan.
Selanjutnya, pada 17 Mei 1962 tepat pukul 04.00 dini hari, sebanyak 119 pasukan Baret Jingga ini diterbangkan dengan menggunakan tiga pesawat Dakota C-47 dari Pangkalan Udara Laha, Ambon.
Mereka rencananya diterjunkan di daerah Klamono, Sorong. Sayangnya, hanya satu pesawat yang berhasil melakukan penerjunan pasukan PGT sebanyak 39 orang dengan Komandan Kompi LU I Lambertus Manuhua dan Danton Sersan Muda Udara (SMU) Soepangat.
Sedangkan dua pesawat lainnya gagal menerjunkan PGT karena cuaca buruk dan terpaksa kembali ke pangkalan udara Laha, Ambon.
Penerjunan baru bisa dilakukan dua hari kemudian yakni, pada 19 Mei di daerah Teminabuan.
NGAJITAN, prajurit Pasukan Gerak Tjepat (PGT) sekarang bernama Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) TNI AU mungkin tidak dikenal banyak orang.
Namun berkat kesaktian Ngatijan, teman-temannya berhasil dilindungi dari pembataian saat di dalam penjara.
Dikutip dari buku 'Heroisme PGT Dalam Operasi Serigala: Pengibaran Bendera Merah Putih Pertama di Teminabuan' yang diterbitkan Subdisjarah Dinas Penerangan Angkatan Udara (Dispenau), diceritakan, Ngatijan merupakan salah satu prajurit Korps Baret Jingga yang diterjunkan dalam Operasi Serigala.
Operasi militer berskala besar yang digelar Angkatan Udara Mandala (AULA) di bawah kepemimpinan Panglima AULA Komodor Udara Leo Wattimena yang juga merangkap Wakil Panglima II Komando Mandala (KOLA) ini antara lain, melakukan infiltrasi atau penyusupan ke pertahanan Belanda sebagai pasukan pendahulu sebelum pasukan lainnya masuk ke Papua melalui daerah Sorong dan Teminabuan.
Operasi militer terpaksa diambil lantaran Belanda tidak mau menyerahkan Papua kepada Indonesia. Sikap Belanda tersebut melanggar perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang telah disepakati.
Panglima Komando Mandala (KOLA) Presiden Soeharto yang kala itu berpangkat Mayjen TNI, meminta Leo Wattimena menyiapkan pasukan yang memiliki kemampuan khusus untuk menjalankan operasi infiltrasi dengan cara diterjunkan.
Saat itulah, Leo Wattimena menunjuk Komandan III PGT di PAU Margahayu Letnan Udara (LU) I Lambertus Manuhua untuk memimpin pasukan.
Selanjutnya, pada 17 Mei 1962 tepat pukul 04.00 dini hari, sebanyak 119 pasukan Baret Jingga ini diterbangkan dengan menggunakan tiga pesawat Dakota C-47 dari Pangkalan Udara Laha, Ambon.
Mereka rencananya diterjunkan di daerah Klamono, Sorong. Sayangnya, hanya satu pesawat yang berhasil melakukan penerjunan pasukan PGT sebanyak 39 orang dengan Komandan Kompi LU I Lambertus Manuhua dan Danton Sersan Muda Udara (SMU) Soepangat.
Sedangkan dua pesawat lainnya gagal menerjunkan PGT karena cuaca buruk dan terpaksa kembali ke pangkalan udara Laha, Ambon. Penerjunan baru bisa dilakukan dua hari kemudian yakni, pada 19 Mei di daerah Teminabuan.
Seluruh prajurit pasukan elite TNI AU yang ditangkap kemudian dibawa ke Kampung Wersar dan dipenjara di Teminabuan.
Di kampung tersebut, Rebo mengaku diikat di pohon kelapa hingga keesokan harinya. Penyiksaan demi penyiksaan dialami prajurit PGT.
Bahkan, dirinya nyaris tewas ketika tentara Belanda yang membawa senjata masuk ke sel dan menembaki dirinya dan teman-temannya.
”Menjelang Maghrib, tentara Belanda datang bawa senter dan pistol masuk ke sel saya lalu menembaki teman-teman saya. Untungnya tidak ada yang mati,” ucapnya.
Rebo mengaku, nyawa teman-temannya termasuk dirinya selamat berkat perlindungan dari Ngatijan. Sebab Ngatijan memiliki ilmu kebal sehingga bisa menahan berondongan peluru tentara Belanda.
”Teman saya Ngatijan punya aji-aji sakti, kena tembak berteriak aduh-aduh. Tapi peluru tidak tembus cuma menempel saja di tubuh Pak Ngatijan,” tuturnya.
Setelah kejadian itu, Rebo mengaku tenang dan tidak khawatir lagi.
“Pokoknya wis tenang saja, kita tidak dipateni, disiksa iya,” kata prajurit spesialis penembak basoka menirukan ucapan Ngatijan.
Perjuangan PGT merebut dan mengembalikan Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi membuahkan hasil.
Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia dan mau menyerahkan Papua ke pemerintah Indonesia. [Democrazy/Okezone]