DEMOCRAZY.ID - Pertumbuhan laju manufaktur Indonesia dalam tiga tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang melambat.
Sejak 2019 hingga 2021, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Manufaktur Indonesia berada di kisaran 3,8-3,9%.
Bahkan, lajunya sempat mengalami perkembangan negatif pada 2020 saat pandemi berlangsung.
Hal ini mendapatkan sorotan dari Ekonom Senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri.
Dia mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah gagal mendorong industrialisasi di Indonesia.
Faisal menegaskan Presiden Jokowi gagal membangun industrialisasi karena terlalu berfokus pada pembangunan fisik dan minimnya upaya mendorong dana perbankan agar mengalir deras untuk industri.
Padahal, nilai investasi di Indonesia terbilang tinggi dibandingkan negara-negara lain. Sayangnya, dia melihat investasi tersebut tidak dikelola dengan baik.
Belum lagi mayoritas diperuntukkan untuk sektor konstruksi berupa bangunan, kantor, mall dan lain sebagainya yang tidak berdampak pada sisi produksi.
Di sisi lain, investasi terhadap mesin dan peralatan hanya 10-11% saja dari total investasi keseluruhan.
Faisal menilai kondisi ini menunjukkan bahwa investasi di Tanah Air tidak berkualitas dan tidak memberikan dampak masif terhadap PDB.
"Penggunaan investasi di Indonesia itu sudah boros, nggak bermutu, itu dia, ini investasi yang saya tunjukkan tadi PMTB itu kalau anda lihat mayoritas yang biru bentuknya apa? bangunan, building, kantorlah, macam-macam lah bangunan konstruksi, bangunan ini misalnya mall, itu makin banyak menjual barang impor," jelasnya, Jumat (10/2/2023).
"Jadi investasi di bangunan untuk memperlancar barang impor masuk, ya ekonomi manfaatnya kecil lah yang manfaatnya besar dalam bentuk apa? mesin dan peralatan hampir pasti itu namanya industri, tapi tengok berapa sehingga bisa menghasilkan berbagai jenis barang yang nyata 10-11% aja," lanjutnya.
Lebih lanjut, Faisal berargumen Presiden Jokowi tidak mendorong terjadinya percepatan industrialisasi melainkan hanya berfokus pada penyelesaian proyek-proyek infrastruktur.
Itulah kemudian yang menyebabkan rendahnya fasilitas dan modal industri di Indonesia.
"Pak Jokowi tidak meminta percepatan industrialisasi enggak, tapi semua proyek infrastruktur kelar sebelum dirinya lengser, jadi bangunan lagi kan. Pokoknya harus kelar, gitu. Industri memble bodo amat makanya Pak jokowi jarang sekali berbicara tentang visi industri, jarang, yang dia bicara adalah hilirisasi," ujarnya.
Adapun, pernyataan Faisal ini terkait dengan permintaan Presiden beberapa waktu lalu agar jajarannya segera merampungkan proyek infrastruktur sebelum 2024, termasuk proyek ibu kota negara (IKN).
Selain itu, dia menuturkan penyebab kegagalan industrialisasi era Jokowi karena adalah enggannya perbankan menyalurkan kredit ke sektor produksi barang.
Menurut Faisal, salah satu sektor jasa yang berkembang yakni perbankan, namun sayangnya sektor ini justru menyalurkan kembali jasanya pada jasa keuangan. Oleh karena itu, permodalan industri tidak berkembang.
Kenyataanya, bank malah justru membantu menopang keuangan negara dengan menjadi pemain terbesar dalam pembelian surat utang negara ketimbang menyalurkan kredit ke masyarakat. Akibatnya
"Agak berat saya mengatakan enggak itu, saya tunjukkan lagi, biang keladi ini semua pemerintah. Nggak percaya ya? saya kan enggak mau fitnah ini saya tunjukkan jadi pemerintah utangnya kan makin banyak, kata Ibu Sri Mulyani aman, ya aman memang tapi lihat kelakuan pemerintah yang utangnya makin banyak itu siapa yang paling banyak membeli surat utang pemerintah itu? jelas bank. Ini sebelum krisis (2020 akibat Covid-19) bank beli biar daripada menyalurkan kredit beli surat utang pemerintah," ujar Faisal.
Faisal pun menunjukkan data bahwa pembelian surat utang pemerintah oleh bank semakin meningkat sejak sebelum pandemi, tepatnya pada 2019.
Jumlahnya mencapai sepertiga dari total surat utang yang beredar.
"Sebanyak 31,4% (2022) jadi hampir sepertiga surat utang pemerintah itu dibeli oleh bank boro-boro menyalurkan kredit apalagi nyalurin kredit ke industri ogah," tegasnya.
Kondisi ini semakin memperparah proporsi ekonomi yang mana separuh utang pemerintah diisi oleh bank sentral dan perbankan.
"Jadi dari jasa ke jasa kan, jasa keuangan ke jasa keuangan, nah mengkonfirmasi kualitas pertumbuhan kita. Menurut saya enggak salah sepenuhnya bank tapi salahnya pemerintah," ujar Faisal.
Ia menilai kesalahan ini bersumber dari kesalahan pemerintah dalam melakukan penugasan pada bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dimana dalam praktiknya bank BUMN menyuntik dana kepada perusahaan yang tidak bisa membayar hutang dan membentuk konsorsium pada proyek-proyek infrastruktur.
"Bank tidak pernah disuruh untuk menyalurkan kredit buat industri jadi tidak salah sepenuhnya bank. Jadi salah di penugasannya," pungkas Faisal.
Baru beberapa bulan terakhir, Jokowi mengingatkan perbankan untuk mau menyalurkan kredit bagi sektor industri, terutama yang terkait dengan hilirisasi.
Jokowi meminta dunia perbankan untuk mendukung dan mengawal kebijakan hilirisasi industri yang dilakukan pemerintah.
"Saya mau juga titip kepada Bapak-Ibu sekalian, agar [kebijakan hilirisasi] ini dikawal. Bank-bank itu mengawal ini. Caranya? Kalau ada orang yang mengajukan kredit untuk bikin smelter, diberi," ujarnya.
Dia pun berharap kalangan perbankan tidak mempersulit pemberian kredit untuk usaha yang mendukung hilirisasi ini karena memberikan keuntungan yang jelas bagi negara dan juga perusahaan pemberi kredit.
Jokowi sendiri meyakini konsistensi dalam melakukan hilirisasi adalah kunci yang akan menjadikan Indonesia sebagai negara maju.
Oleh karena itu, dia selalu mengingatkan jajarannya untuk melanjutkan kebijakan hilirisasi meskipun mendapatkan tantangan dari negara-negara lain. [Democrazy/cnbc]