DEMOCRAZY.ID - Warga Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, memasang spanduk sebagai aspirasi menolak ganti rugi lahan yang masuk dalam kawasan inti Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara karena persoalan nilai.
"Kami pasang spanduk sebagai aspirasi terkait ganti rugi lahan, kami anggap nilai ganti rugi dari pemerintah terlalu murah," jelas salah satu warga Kelurahan Pemaluan Paulus Duma di Penajam, Sabtu (18/2/2023).
Masyarakat menginginkan ada pertemuan langsung dengan pemerintah atau Otorita IKN, lanjut dia, menyangkut nilai ganti rugi lahan yang masuk dalam proyek pembangunan ibu kota negara Indonesia baru.
Ganti rugi lahan dengan nilai uang antara Rp150.000 sampai Rp300.000 per meter persegi dinilai rendah sangat berdampak bagi warga, karena lahan yang dimiliki sebagai sumber kehidupan masyarakat setempat.
Jika pemerintah tidak memberikan ganti rugi sesuai harga secara umum seperti di kota besar dengan nilai Rp3 juta sampai Rp5 juta per meter persegi, kata warga Kelurahan Pemaluan lainnya Bebeng Hermanto, maka warga tidak bisa membeli lahan pengganti.
"Kalau harga ganti rugi lahan terlalu murah, maka kami tidak bisa beli lahan pengganti dari uang ganti rugi itu," ucap dia.
Selain itu, warga juga keberatan apabila harus pindah ke lokasi yang jauh dari kawasan ibu kota negara Indonesia baru, karena masyarakat ingin menjadi bagian dari IKN Nusantara.
Apabila pemerintah menyiapkan lahan pengganti harus sesuai kondisi lokasi awal, menurut dia, bukan di daerah pedalaman yang belum diketahui bisa berkembang atau tidak ke depannya.
Warga yang lahannya masuk kawasan inti pusat pemerintahan (KIPP) ibu kota negara Indonesia baru, tambah Bebeng Hermanto, ingin dilibatkan dalam penentuan nilai ganti rugi lahan.
Warga Kelurahan Pemaluan tidak pernah menentang pemindahan dan pembangunan IKN Nusantara, tetapi masyarakat ingin ada penjelasan penentuan nilai ganti rugi lahan dan disosialisasikan secara transparan.
Pemerintah atau Otorita IKN diharapkan melibatkan dan mendengarkan harapan masyarakat, karena lahan atau tanah milik warga tersebut sebagai tempat tinggal dan bercocok tanam. [Democrazy/Antara]