DEMOCRAZY.ID - Kapal penjaga pantai milik China ramai diberitakan wara-wiri di sekitar Laut Natuna Utara baru-baru ini.
Pergerakan kapal 'monster' CCG 5901 itu terlacak berada di dekat ladang gas Indonesia, Blok Tuna.
Blok Tuna merupakan blok migas yang dioperatori oleh kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) Premier Oil Tuna B.V. (Harbour Energy Group), perusahaan berbasis di Inggris, dengan hak partisipasi 50 persen.
Premier Oil bermitra dengan perusahaan migas pelat merah asal Rusia, Zarubezhneft.
Zarubezhneft melalui anak usahanya, ZN Asia Ltd mengakuisisi 50 persen hak partisipasi Premier Oil di Blok Tuna pada 2020 lalu.
Kontrak bagi hasil wilayah kerja migas yang terletak di sebelah perbatasan Indonesia-Vietnam itu ditandatangani dan berlaku sejak 21 Maret 2007.
Belum lama ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyetujui rencana pengembangan atau plan of development (PoD) pertama Lapangan Tuna di blok migas tersebut.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan, pengelolaan hulu migas di wilayah perbatasan seperti di Blok Natuna tidak hanya soal hitung-hitungan ekonomi saja, tetapi juga kepentingan kedaulatan negara.
“Persetujuan PoD pertama kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan proyek di Lapangan Tuna, maka akan ada aktivitas di wilayah perbatasan yang masuk salah satu hot spot geopolitik dunia.
Bendera merah putih akan berkibar di lokasi proyek, secara ekonomi dan politik, menjadi penegasan kedaulatan Indonesia di wilayah tersebut," kata Dwi melalui siaran pers, Senin (2/1/2023).
Dia menuturkan, investasi Lapangan Tuna sangat besar, yakni mencapai US$3,07 miliar atau setara dengan Rp45,4 triliun.
Perkiraan biaya investasi untuk pengembangan Lapangan Tuna terdiri atas investasi (di luar sunk cost) sebesar US$1,05 miliar, investasi terkait biaya operasi sampai dengan economic limit sebesar US$2,02 miliar, dan biaya abandonment and site restoration (ASR) sebesar US$147,59 juta.
Di Blok Tuna telah dilakukan kegiatan akuisisi seismik 2D dan 3D, pengeboran empat sumur eksplorasi, yakni Gajah Laut Utara-1 dan Belut Laut-1 pada 2011 dan Kuda Laut-1 dan Singa Laut-1 pada 2014.
Penemuan hidrokarbon di sumur Kuda Laut-1 dan Singa Laut-1 yang secara struktur bersebelahan, kemudian diberi nama lapangan Tuna, dengan sumber daya sebesar 104 juta barel setara minyak (mmboe).
Sumber daya tersebut didominasi gas yang tinggi kandungan kondensat dengan kandungan CO2 kurang dari 2 persen.
Kemudian, pada 2021 lalu, potensi cadangan di Blok Tuna dikonfirmasi kembali dengan melakukan pengeboran dua sumur delineasi Singa Laut (SL)-2 dan Kuda Laut (KL)-2.
Mengutip Antara, Rabu (18/1/2023), Kepala Staf TNI Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Muhammad Ali mengakui memang ada kehadiran kapal-kapal coast guard (penjaga pantai) milik China di sekitar Laut Natuna Utara.
Namun, kapal serupa maupun kapal perikanan milik Vietnam juga kerap terlihat berlalu lintas di perairan sekitar Laut Natuna Utara.
Menurut dia, hal itu wajar karena meskipun Laut Natuna Utara masuk dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, bukan berarti kapal dari negara lain dilarang melintas wilayah perairan tersebut.
"Di sana [ZEE Laut Natuna Utara], kita hanya ada hak berdaulat. Jadi, untuk lalu lalang atau lalu lintas kapal itu diperbolehkan berdasarkan hukum laut internasional. Itu ada freedom of navigation," jelasnya.
Dia mengatakan, TNI AL akan bertindak apabila menemui kapal-kapal asing yang melakukan aktivitas eksplorasi maupun eksploitasi sumber laut di wilayah Indonesia.
"Itu yang dilarang. Itu harus seizin Pemerintah Indonesia. Kalau dia hanya lalu lintas, itu diperbolehkan," tambahnya.
Dia juga menegaskan bahwa hingga saat ini situasi di wilayah perairan Laut Natuna Utara relatif aman dan tidak ada hal-hal yang dapat menimbulkan provokasi baru.
"Jadi, sampai sekarang tidak ada masalah dan tidak ada hal-hal yang menimbulkan provokasi-provokasi baru. Jadi, tetap aman," ujarnya.
Data pelacakan kapal menunjukkan Kapal CCG 5901 berada di dekat ladang gas Blok Tuna dan ladang minyak dan gas Chim Sao Vietnam sejak 30 Desember 2022.
Pada 2021, juga sempat ramai diberitakan bahwa Pemerintah China melayangkan protes kepada Pemerintah Indonesia atas aktivitas pengeboran minyak dan gas di Laut Natuna.
Protes China tersebut diungkapkan oleh Anggota DPR RI Komisi I Muhammad Farhan.
Adapun, penolakan Pemerintah China itu disampaikan dalam nota diplomatik dengan alasan, Indonesia melakukan pengeboran di wilayah yang diklaim Beijing sebagai bagian dari hak bersejarahnya.
Dia membahas hal itu sebagai bahan pelengkap dari laporan Badan Keamanan Laut (Bakamla) mengenai kapal-kapal China di seputar lokasi pengeboran.
“Kemudian diungkapkan bahwa kehadiran kapal-kapal Tiongkok disertai komunike diplomatik [dalam bentuk surat] mengenai protes pemerintah Tiongkok,” ujarnya.
Lebih lanjut, Farhan mengatakan DPR RI mendukung mendukung sikap pemerintah untuk menjaga dan mempertahankan wilayah kedaulatan Indonesia yang sudah diakui oleh UNCLOS. Baik secara operasional di lapangan maupun secara diplomatik.
Kala itu, Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia (Kemenlu) Teuku Faizasyah mengaku tidak bisa mengonfirmasi lebih lanjut soal protes China tersebut. Dia menyebut, nota diplomatik bersifat tertutup.
“Saya tidak bisa mengkonfirmasi berita yang beredar tersebut. Komunikasi diplomatik, terlebih lagi yang tertulis bersifat tertutup dan sesuai ketentuan baru bisa dibuka ke publik setelah periode yang lama,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (2/12/2021).
Gas dari Blok Tuna Diekspor ke Vietnam
Selain itu, fakta menarik yang perlu diketahui adalah bahwa produksi gas dari Blok Tuna bakal diekspor ke Vietnam.
Pemerintah menargetkan bisa mengekspor gas ke Vietnam pada 2026 mendatang.
Menteri ESDM Arifin Tasrif belum memerinci berapa besaran volume gas yang akan dieskpor.
Namun, dia mengungkapkan bahwa potensi gas yang dihasilkan di Blok Tuna berkisar 100-150 million standard cubic feet per day (MMscfd).
“Potensinya di sana 100-150 MMscfd. Kami sih targetnya 2026 sudah bisa ekspor,” tutur Arifin saat berbincang dengan media di Kementerian ESDM, Jumat (23/12/2022).
Dia menuturkan, ekspor gas ke Vietnam lebih menguntungkan ketimbang harus menyalurkan gasnya ke Indonesia.
Hal ini lantaran Blok Tuna lebih dekat dengan Vietnam. Nantinya, akan dibangun pipa gas untuk menyalurkan gas tersebut ke Vietnam.
Berdasarkan catatan Bisnis, fasilitas produksi terdekat dari Blok Tuna yang berada di perairan Indonesia adalah di wilayah kerja Natuna Sea Block A yang berjarak sekitar 385 kilometer (km).
Alhasil, pengembangan lapangan Tuna bisa menjadi tidak ekonomis jika disalurkan ke Indonesia memakai fasilitas tersebut.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Vietnam juga telah bekerja sama untuk meningkatkan nilai keekonomian pengembangan Blok Tuna.
Kedua negara telah melakukan memorandum of understanding (MoU) terkait pemanfaatan gas dari Blok Tuna.
"Prinsipnya dengan Vietnam, kita mengoptimalkan potensi-potensi di perbatasan kedua negara termasuk energi maupun sumber daya alam lainnya. Sekarang memang ada aktivitas di Blok Tuna yang rencananya mau produksi gas karena dekat Vietnam makanya mau diekspor," jelas Arifin.
Sumber: Bisnis