DEMOCRAZY.ID - Meski dikenal sebagai menteri kesayangan bahkan ada yang menilainya sebagai 'Putra Mahkota' rupanya Menristek Prof BJ Habibie tak selalu sejalan dengan Presiden Soeharto.
Dia berani menolak keinginan sang Presiden termasuk terhadap anak-anaknya.
Suatu hari pada 1988 Habibie menerima kunjungan Siti Hardiyanti Indra Rukmana (Mba Tutut), putri sulung Presiden Soeharto.
Dia datang bersama timnya dan para ahli dari Brasil untuk melakukan paparan terkait proyek monorail atau kereta ringan (LRT) dengan menggunakan teknologi angin. Hal itu rencananya akan diterapkan di Indonesia.
Ternyata kereta dengan teknologi tersebut di negara asalnya belum dimanfaatkan. Di negara lain pun demikian.
"Kalau Anda belum memanfaatkan, kenapa saya yang harus memanfaatkannya?" tanya Habibie skeptis seperti ditulis dalam buku 'Saya Bacharuddin Jusuf Habibie, The Untold Story'.
Buku setebal 498 halaman itu ditulis A. Makmud Makka dan diterbitkan oleh Republika Penerbit pada Desember 2021.
Suasana mendadak berubah tegang. Apalagi kemudian Habibie juga mempertanyakan apakah kereta dengan teknologi angin tersebut hanya diuji coba di jalan lurus atau juga di jalanan yang menikung.
Ketika ahli dari Brasil menjawab hanya dicoba di jalur lurus, Habibie tegas langsung menolaknya. "No...!"
Dia menyarankan agar mereka menguji teknologi tersebut secara lebih lengkap dan sempurna.
Sebab dalam perhitungan Habibie, kereta dengan teknologi angin akan sulit berfungsi di rel yang menikung.
Bila kereta melaju dengan kecepatan tertentu lantas harus menghadapi jalur rel yang menikung, atau arah angin tiba-tiba berbalik 180 derajat pasti tidak akan dapat dikendalikan dengan sempurna.
Bila dilakukan pengereman mendadak kereta bisa keluar jalur dan para penumpang pasti akan tersentak keras sehingga bisa terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
"Jika itu terjadi, bisa menabrak dinding yang tidak kelihatan. Maafkan, saya tidak bisa menerimanya," tandas Habibie.
Keesokan harinya dia dipanggil Presiden Soeharto. Habibie tetap dengan pendapatnya bahwa secara keilmuan hal itu sulit diterapkan di Indonesia yang punya banyak jalur menikung.
"Tapi, anak-anak sudah membayar, katanya 20 juta US dolar untuk mendapatkan hak pakai atas nama mereka," kata Soeharto.
Habibie juga memberikan penjelasan serupa dalam sidang kabinet terbatas bidang ekuin.
Baik Presiden Soeharto maupun para koleganya di kabinet akhirnya tak lagi mempertanyakan rencana proyek tersebut.
Tapi sekitar setahun kemudian, rupanya proyek itu diterapkan sebagai kereta wisata di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Situs TMII menyebut nama kereta dimaksud, Aeromovel atau Titihan Samirono.
Penggunaanya diresmikan Presiden Soeharto pada 20 April 1989. Habibie dan isterinya, Ainun, tak hadir di acara peresmian.
Jalur kereta dibuat melayang setinggi enam meter dari permukaan tanah.
Kereta melaju dengan kecepatan 15-20 km/jam karena panjang lintasan Cuma 3,2 kilometer. Kecepatan maksimal kereta diklaim 60 km/jam.
Menurut situs p2k.stekom.ac.id, Aeromovel (jenis SHS-23) saat itu dianggap sebagai "teknologi maju".
Transportasi massal ini merupakan kereta ringan pertama di Indonesia, mendahului LRT Palembang (2018) dan di Jabodebek yang kini masih dalam proses penyelesaian.
Saat uji coba dalam peresmian, apa yang dikhawatirkan Habibie terbukti. Dari cerita Menteri Perhubungan Ir Azwar Anas dan beberapa menteri lainnya kepada Habibie, kala itu hujan turun. Pada tikungan tertentu kereta melaju dengan kecepatan tinggi.
"Karena terjadi hentakan yang tiba-tiba, Ibu Tien hampir jatuh. Tapi insiden tersebut tak boleh diberitakan," kata Habibie.
Sejak 2014 Aeromovel berhenti beroperasi karena kesulitan suku cadang. Brasil yang memanfaatkan teknologi tersebut juga menutup perusahaan pembuatnya.
Pada 2019 Aeromovel kembali beroperasi tapi dengan sistem kereta konvensional bermasinis.
Pada 2013 ini, aeromovel akan digantikan Tram Mover bertenaga listrik yang diproduksi PT INKA. [Democrazy/detik]