DEMOCRAZY.ID - Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal Polisi (Purn) Budi Gunawan membeberkan analisis perihal situasi perekonomian di tahun 2023.
Semua itu dibeberkan Budi dalam Rapat Koordinasi Nasional Kepala Daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah se-Indonesia di Sentul City, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, melalui keterangan resmi, Kamis (19/1).
"Foresight (tinjauan masa depan) dari intelijen dunia itu menggambarkan bahwa tahun 2023 sebagai tahun yang gelap dan penuh dengan ketidakpastian. Istilah intelijen disebut dengan winter is coming," ujarnya.
"Ada juga yang menggambarkan bahwa tahun 2023 adalah tahun yang dihantui oleh ancaman resesi dan inflasi. Yang dampaknya akan berpengaruh sampai dengan ke daerah yang mengena dan dirasakan oleh ekonomi rumah tangga di sudut-sudut kota, di kabupaten hingga pelosok-pelosok desa," lanjutnya.
Berdasarkan foresight intelijen, analisis big data BIN, dan counterpart intelijen dunia, Budi menggambarkan ada beberapa potensi ancaman dan tantangan global pada tahun 2023 yang perlu menjadi perhatian semua pihak.
Yang pertama, perang Rusia dan Ukraina yang diprediksi masih akan berlangsung lama dan diperparah dengan munculnya potensi penggunaan senjata nuklir dalam skala yang terbatas.
Perang antara kedua negara tersebut telah mengganggu pasokan energi dan pangan dunia.
Di samping itu, menurut Budi, situasi konflik geopolitik China dan Taiwan di Selat Taiwan juga akan semakin memprihatinkan. Karena akan memengaruhi jalur logistik dunia.
"Akibatnya, banyak negara terpaksa harus menerapkan nasionalisme yang sempit atau langkah-langkah proteksionisme guna untuk mengamankan dan memenuhi kebutuhan dalam negerinya masing-masing," ujar Budi.
Yang kedua, menurut dia, infrastruktur di negara-negara Eropa mulai banyak yang terbengkalai karena kekurangan biaya akibat inflasi.
Budi mencontohkan Italia sedang mengalami krisis listrik dan kesulitan pangan.
"Sementara di beberapa negara Afrika ini sangat bergantung 90% impor akan gandum dari Rusia dan Ukraina. Oleh karenanya saat ini mereka sedang terancam kelaparan dan kemiskinan yang ekstrem," kata Budi.
Khusus untuk Indonesia, dia menjelaskan ada pekerjaan rumah yang sangat besar di mana per Januari 2023, Indonesia akan menjadi negara net importir komoditas pangan khususnya gandum, kedelai, beras, daging, dan bawang putih.
"Oleh karenanya peran pemda ini memang sangat dibutuhkan guna mengatasi akan potensi terjadinya krisis pangan tersebut," ujar Budi.
Yang ketiga, adanya krisis mata pencarian dan meningkatnya PHK serta angka pengangguran global yang diperparah pembiayaan anggaran negara dan perusahaan yang menjadi lebih kompleks dengan masuknya konsep ekonomi hijau atau ekonomi ramah lingkungan.
Budi mengatakan, sebagian besar pemda dan industri lokal belum familiar dan belum siap dengan skema dan business model ekonomi hijau.
"Yang jika kita salah dalam pengelolaan maka akan sangat berpotensi akan meningkatkan beban utang serta rentan terhadap perubahan teknologi," kata Budi.
Yang keempat, pelemahan nilai tukar rupiah kita terhadap dolar AS akibat tingginya inflasi global sehingga menyebabkan tingginya beban impor yang berdampak pada industri nasional, meningkatnya pengangguran serta menurunnya daya beli masyarakat.
Walaupun Indonesia diprediksi tidak akan terkendala resesi, Budi mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 diperkirakan hanya di kisaran 4,7%-5,3%.
"Dari hasil foresight intelijen dunia menunjukkan bahwa akan terjadi ketimpangan wilayah dan antarkelompok masyarakat di satu daerah yang semakin tinggi. Sehingga hal tersebut berpotensi mengurangi pertumbuhan di daerah kurang lebih 1,2%," ujarnya. [Democrazy/WE]