DEMOCRAZY.ID - Nama Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, menjadi ramai di media sosial, salah satunya di twitter, media sosial yang paling sering saya akses.
Awalnya saya tidak begitu peduli penyebab nama budayawan itu tiba-tiba jadi trending topik.
Saya pikir mungkin saja beliau baru saja meluncurkan syair religi terbaru, dan kemudian jadi viral.
Namun, karena namanya masih saja bertahan di jajaran trending topic bahkan ketika saya menulis catatan ini, saya pun iseng-iseng melakukan scrolling.
Rupanya, cendekiawan muslim asal Jombang, Jawa Timur, itu sedang tersandung masalah yang berpotensi ‘ujaran kebencian’.
Hal itu bermula dari sebuah ceramah, yang potongan video-nya pun berseliweran di linimasa media sosial.
Dalam ceramah yang kemudian viral itu, Cak Nun, menyamakan Presiden Joko Widodo dengan Firaun, sepuluh naga sebagai Qarun, dan Luhut B. Panjaitan sebagai Haman.
Seperti kita tahu, nama-nama lawas yang disebut oleh pendiri Maiyah dan Kiai Kanjeng itu, merupakan kelompok yang paling berkuasa di Mesir di masa hidup Nabi Musa A.S.
Para pendukung Jokowi pun berang dan mencerca suami Novia Kolopaking, itu habis-habisan.
Mereka, para pembela Jokowi Cs, wajar saja berang. Soalnya, Firaun, Qarun, dan Haman bukanlah nama-nama yang diceritakan secara positif di dalam kitab suci maupun oleh para penceramah.
Malah, ketiganya diasosiasikan dengan karakter buruk: sesat, tamak, dan culas! Tidak seorang pun akan bangga dipersamakan dengan mereka.
Dan, tiba-tiba saja saya teringat dengan sosok yang pernah menulis surat terbuka untuk warga Aceh, ini.
Cak Nun dan Aceh
Sebagai orang yang menaruh minat dengan dunia kepenulisan, nama Cak Nun tentu saja tidak asing bagi saya.
Sejak masih duduk di bangku Madrasah Aliyah, saya sudah sering membaca tulisan-tulisannya yang renyah di Tempo, Kompas, Horison dan Panji Masyarakat.
Cak Nun termasuk penulis yang menjadi idola saya selain Gus Dur, Mahbub Junaidi, Kang Jalal, dan Arswendo Atmowiloto. Esai-esainya termasuk enak dibaca plus mencerahkan.
Tahun 1999, saya membaca surat Emha Ainun Najib di koran Serambi Indonesia edisi Selasa, 9 November 1999.
Ya, surat santri yang pernah mondok di pesantren Gontor, itu saya baca di halaman depan koran lokal terbesar di Aceh bersanding judul berita headline “Dua Juta Umat Gelorakan Referendum”.
Cak Nun merasa perlu menulis surat untuk masyarakat Aceh yang sukses menggelar Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) Aceh.
Merujuk pada berita Serambi, lebih kurang 2 juta masyarakat Aceh menuntut referendum dan ingin mentalak tiga Indonesia dalam aksi pada 8 November 1999.
SU MPR Aceh pada 8 November 1999, itu disebut-sebut sebagai aksi protes sipil terbesar yang pernah terjadi di Aceh, sekaligus sebagai pembangkangan sipil yang dilakukan secara terbuka terhadap pemerintah yang sah.
Pun begitu, meski koran lokal terbesar di Aceh membuat klaim bahwa SU MPR Aceh dihadiri 2 juta massa, jumlah tersebut masih dapat diperdebatkan.
Soalnya, agak mustahil setengah dari penduduk Aceh yang kala itu berjumlah 4,5 juta jiwa, tumpah ruah ke Banda Aceh, ibukota provinsi.
Sama seperti publik Indonesia lainnya, Emha Ainun Najib pun terkejut dengan keberanian masyarakat Aceh, dan mau tidak mau merasa berkewajiban mempersoalkan sikap tersebut, mungkin karena khawatir Indonesia akan terpecah-pecah seperti Yugoslavia.
Cak Nun, demikian orang-orang memanggilnya, membuka suratnya dengan takzim, “Kepada Yth. Saudara-saudaraku Rakyat Aceh yang dibimbing Allah SWT. Sungguh bahagia menyaksikan dua juta saudara-saudaraku berkumpul di Banda Aceh siang tadi (kemarin-red) untuk bergolak menentukan hari depan.
Jutaan saudara-saudaraku rakyat Aceh berkumpul untuk menunjukkan kedaulatan mereka dan ketidakpercayaan kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia yang menganiaya mereka terlalu lama.”
Setidaknya, ada enam pertanyaan menohok yang ia ajukan kepada masyarakat Aceh, di mana pada intinya ia ingin bilang bahwa Aceh tidak sendirian sebagai korban ketidakadilan dari pemerintah pusat.
“Apakah itu berarti saudara-saudaraku rakyat Aceh juga tidak percaya kepada kami-kami rakyat di berbagai wilayah lain di Nusantara, yang juga dianiaya, yang juga harus membayar penganiayaan itu dengan kematian, kemiskinan dan ketidaktenteraman, meskipun jumlah korban dan penderitaan kami sama sekali tidak sebanding dengan derita-derita saudara-saudaraku rakyat Aceh.”
Cak Nun turut menggugat masyarakat Aceh, dengan mempertanyakan apakah rakyat Aceh ingin menghukum rakyat Indonesia di belahan pulau lain yang juga turut menderita, sebagaimana rakyat Aceh ingin menghukum pemerintah Republik Indonesia?
Tidak lupa ia mengutip pernyataan seorang orator yang tampil di panggung SU MPR Aceh yang turut disiarkan televisi.
Ia mendengar si orator itu bilang bahwa 99,9 persen rakyat Aceh menghendaki kemerdekaan, karena dianiaya terlalu lama. Ia pun menitip tanya untuk sang tokoh Aceh itu.
“Jika memang benar demikian, untuk apa saudara-saudaraku rakyat Aceh masih merasa perlu melakukan unjuk rasa, kemudian merasa perlu menyelenggarakan referendum, apalagi referendum itu dimintakan kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia?”
Cak Nun bahkan mengusulkan, kenapa tidak sekalian saja masyarakat Aceh memproklamirkan Negara Islam Aceh, menyusun pemerintahannya, memanggil semua warga Aceh di wilayah RI untuk kembali ke kampung halaman, baru kemudian bernegosiasi dengan Pemerintah Republik Indonesia.
Ia merasa perlu mengingatkan kembali orang Aceh bahwa dulunya pernah ada gerakan di Aceh yang ingin mendirikan negara Islam Aceh.
Cak Nun mungkin lupa, bahwa pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berusaha menghindari menggunakan frasa Negara Islam demi menggaet dukungan dari dunia internasional.
Bahkan, di akhir suratnya, ia mewanti-wanti masyarakat Aceh agar jika nantinya berhasil memisahkan diri dari negara Indonesia dan menjadi negara sendiri, Aceh tidak boleh “dicaplok Amerika, diliciki PBB, dan dirente oleh IMF.”
Bisa jadi itu semacam warning kepada warga Aceh yang sedang getol-getolnya meminta intervensi asing, termasuk penyelenggaraan referendum untuk menentukan nasib sendiri di bawah pengawasan internasional.
Sependek ingatan saya, hingga Cak Nun mengeluarkan pernyataan dengan menyebut sosok Jokowi sebagai Firaun, surat dan pertanyaannya kepada rakyat Aceh belum ada yang menjawab. Atau memang surat itu tidak perlu dijawab.
Sumber: Kumparan