DEMOCRAZY.ID - Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) terus menuai panen kritik. Biaya investasi proyek kerja sama Indonesia-China ini membengkak sangat besar (cost overrun).
Ketimbang jadi besi tua yang mangkrak, pemerintah terpaksa harus menambal cost overrun dengan APBN, meski hal itu sejatinya mengingkari janji awal pemerintah.
Sekadar informasi, mega proyek tersebut diperkirakan memakan biaya investasi hingga Rp 113,9 triliun sampai Rp 118 triliun.
Jumlah tersebut meleset dari perhitungan awal sebesar Rp 84,3 triliun.
Investasi ini juga melampaui perkiraan investasi yang ditawarkan Jepang sebelumnya.
Selain itu, dengan harga tiket di kisaran Rp 300.000, balik modal diperkirakan mencapai 40 tahun.
Itu pun dengan asumsi keterisian jumlah penumpang terpenuhi.
Dengan kata lain, perkiraan balik modal bisa lebih panjang apabila KCJB sepi penumpang.
Dominasi China
Dominasi China di Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung sangat terasa di hampir semua aspek.
Dari mulai tenaga kerja asing, pembiayaan, hingga perusahaan kontraktor yang menggarap proyek ini.
Sebesar 75 persen proyek ini didanai dari utang dari China dengan bunga 2 persen dan tenor 40 tahun.
Jauh lebih tinggi dibandingkan bunga yang ditawarkan Jepang melalui JICA yakni hanya 0,1 persen per tahun.
Sementara sisanya, sebesar 25 persen investasi merupakan modal dari konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang terdiri dari 5 perusahaan China dan 4 perusahaan BUMN Indonesia, termasuk di dalamnya suntikan APBN melalui PMN PT KAI.
Dikutip dari laporan yang disampaikan PT KCIC dan KAI dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI, aroma dominasi China juga sangat tampak dari perusahaan kontraktor penggarap engineering procurement construction (EPC) proyek ini.
Di mana perusahaan BUMN China mendominasi sebesar 70 persen dari total EPC di proyek pembangunan KCJB. Pihak Indonesia kebagian sebesar 30 persen EPC yang digarap PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau Wika.
Total ada 6 perusahaan China yang menjadi kontraktor utama antara lain Sinohydro, China Railway International (CRIC), dan China Railway Engineering Corporation (CREC).
Berikutnya CRRC Corporation Limited, China Railway Signal and Communication (CRCR), dan China Railway Design Corporation (CRDC).
Sementara dalam komposisi pemegang saham, 5 BUMN China yakni CRIC, CREC, Sinohydro, CRRC, dan CRSC kemudian membentuk usaha patungan bernama Beijing Yawan yang menggenggam saham KCIC sebesar 40 persen.
Berikutnya pemegang saham Indonesia di KCIC sebesar 60 persen diwakili oleh konsorsium PT Pilar Sinergi Bersama Indonesia (PSBI) yang terdiri dari PT KAI, Wijaya Karya, Jasa Marga, dan PTPN 8.
Perbandingan dengan proyek MRT
Sebagai perbandingan, proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung bisa disandingkan dengan proyek pembangunan MRT Jakarta fase 1 yang juga dikerjakan melalui pinjaman asing, yakni JICA dari Jepang.
Proyek MRT pertama ini dikerjakan secara keroyakan antara perusahaan Indonesia dan Jepang dengan nilai investasi Rp 16 triliun.
Proyek MRT Jakarta fase 1 memiliki panjang 16 kilometer yang meliputi 10 kilometer jalur layang dan enam kilometer jalur bawah tanah.
Tujuh stasiun layang tersebut adalah Lebak Bulus (lokasi depo), Fatmawati, Cipete Raya, Haji Nawi, Blok A, Blok M, dan Sisingamangaraja. Depo ditetapkan berada di kawasan Stasiun Lebak Bulus.
Sedangkan enam stasiun bawah tanah dimulai dari Senayan, Istora, Bendungan Hilir, Setiabudi, Dukuh Atas, dan Bundaran Hotel Indonesia.
Dikutip dari laman resmi MRT, pengerjaan konstruksi dibagi dalam enam paket kontrak yang dikerjakan oleh kontraktor dalam bentuk konsorsium (joint operation) antara masing-masing wakil perusahaan Jepang dan perusahaan Indonesia, yaitu:
- CP101 – CP102 oleh Tokyu – Wijaya Karya Joint Operation (TWJO) untuk area Depot dan Stasiun Lebak Bulus, Fatmawati, dan Cipete Raya.
- CP103 oleh Obayashi – Shimizu – Jaya Konstruksi (OSJ) untuk area Haji Nawi, Blok A, Blok M, dan Sisingamangaraja.
- CP104 – CP105 oleh Shimizu – Obayashi – Wijaya Karya – Jaya Konstruksi Joint Venture (SOWJ JV) untuk area transisi, Senayan, Istora, Bendungan Hilir, dan Setiabudi.
- CP106 oleh Sumitomo – Mitsui – Hutama Karya Join Operation (SMCC – HK JO) untuk area Dukuh Atas dan Bundaran Hotel Indonesia.
Berbeda dengan KCJB, untuk saham MRT Jakarta, tidak ada kepemilikan Jepang, di mana saham MRT Jakarta digenggam oleh Pemprov DKI Jakarta sebesar 99,99 persen, dan sisanya 0,01 persen oleh Perumda Pasar Jaya.
Sementara dari sisi sumber pendanaan, proyek ini didanai dari hibah pemerintah pusat sebesar 49 persen, dan pinjaman dari JICA sebesar 51 persen. Bunga yang ditawarkan Jepang di proyek ini adalah 0,1 persen. [Democrazy/Kompas]