DEMOCRAZY.ID - Ajakan untuk kembali ke UUD 45 terus digaungkan Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.
Dia memandang, sistem yang paling tepat dan sesuai dengan watak dan DNA asli Indonesia adalah sistem demokrasi dan ekonomi Pancasila.
Bahkan LaNyalla menyebut Indonesia sebagai bangsa yang durhaka karena telah meninggalkan amanat dan rumusan pendiri bangsa sejak perubahan konstitusi tahun 1999 hingga 2002.
“Tentu Undang-Undang Dasar naskah asli masih memiliki beberapa kelemahan. Maka kita kembalikan, kemudian kita sempurnakan dengan cara yang benar, melalui teknik adendum. Sehingga tidak menghapus sistem bernegara dan sistem ekonomi yang telah dirumuskan para pendiri bangsa,” ujar LaNyalla saat memberikan Kuliah Umum Wawasan Kebangsaan di Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya (PPNS), Jumat (23/12/2022).
Gagasan dan pemikiran tersebut, kata LaNyalla, sudah disampaikan dalam berbagai forum dan kesempatan ketika dirinya berkeliling Indonesia.
Menurut Senator asal Jawa Timur itu, sistem demokrasi Pancasila perlu dikembalikan, karena sistem yang menempatkan seluruh elemen masyarakat yang ada di Indonesia di dalam lembaga tertinggi negara, yaitu MPR, sebagai penjelmaan dari kedaulatan rakyat.
“Di dalam sistem tersebut bukan hanya ada partai politik saja, tetapi ada unsur dari Daerah-Daerah dan ada unsur dari Golongan-Golongan. Sehingga sistem demokrasi ini adalah sistem demokrasi yang lengkap,” papar dia.
Dijelaskannya, mereka inilah yang menyusun arah perjalanan bangsa melalui Garis Besar Haluan Negara.
Mereka juga yang memilih Presiden dan diberi mandat atau sebagai pelaksana dari GBHN.
“Presiden hanyalah mandataris atau petugas rakyat, bukan petugas partai. Sehingga rakyatlah yang menentukan cara bagaimana mereka harus diperintah oleh pemerintah yang mereka bentuk. Karena pada hakikatnya kedaulatan rakyat itu adalah yang tertinggi. Sehingga perwakilan dan penjelmaan seluruh elemen rakyat harus berada di lembaga tertinggi di negara,” tuturnya.
Sedangkan sistem ekonomi Pancasila, memberi ruang dan posisi yang kuat kepada negara untuk menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Serta menguasai cabang produksi penting bagi hajat hidup orang banyak.
“Dalam sistem ini negara benar-benar menggunakan kekayaan alam Indonesia yang merupakan anugerah dari Allah SWT untuk kepentingan cita-cita dan tujuan dari lahirnya negara ini, yaitu kemakmuran rakyat. Bukan diberikan ke orang per orang,” tukas pria asal Bugis yang besar di Surabaya itu.
Bangsa Durhaka
Ditegaskan olehnya, sistem itulah rumusan para pendiri bangsa Indonesia yang sudah ditinggalkan.
Bangsa ini telah menjadi bangsa lain. Bukan lagi bangsa yang dicita-citakan para pendiri bangsa.
“Makanya sering saya sebut bahwa kita sebagai bangsa telah durhaka. Karena rumusan para pendiri bangsa yang dituangkan di dalam naskah Undang-Undang Dasar 1945 yang difinalkan pada tanggal 18 Agustus 1945 kini sudah tidak ada lagi,” ucap dia.
Semua terjadi sejak bangsa ini melakukan amandemen konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 yang lalu.
UUD hasil perubahan di tahun 2002 itu telah mengganti lebih dari 95 persen pasal-pasal di dalam konstitusi.
Bahkan yang paling parah, tegas dia, perubahan itu telah menghilangkan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi.
Karena tidak lagi ditemukan penjabarannya dalam pasal-pasal konstitusi hasil perubahan tahun 2002.
Justru sebaliknya, isi pasal-pasal itu menjabarkan ideologi lain, yaitu nilai-nilai dari liberalisme dan individualisme.
Akibatnya, Indonesia perlahan tapi pasti berubah menjadi negara yang menggunakan sistem demokrasi liberal.
Sehingga semakin kental dengan sekularisme dan individualisme serta ekonomi yang berwatak kapitalistik.
“Ini adalah paradoksal terbesar dalam ketatanegaraan Indonesia. Kita sebagai bangsa telah terjerembab sangat jauh dalam globalisasi yang predatorik. Sehingga yang terjadi semakin hari, oligarki ekonomi semakin membesar dan menguasai apa saja. Termasuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak,” ujarnya.
Mereka mulai masuk ke politik dan memaksa kekuasaan berpihak kepada mereka melalui puluhan undang-undang dan peraturan yang berpihak kepada kepentingan mereka.
“Untuk itulah, mari kita hentikan kerusakan yang terjadi. Hentikan ketidakadilan yang melampaui batas. Karena ketidakadilan yang melampaui batas itu telah nyata-nyata membuat jutaan rakyat, sebagai pemilik sah kedaulatan negara ini menjadi sengsara,” tuturnya. [Democrazy/Inilah]