DEMOCRAZY.ID - Tidak apple to apple bila membandingkan kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sebab, tidak imbang jika pemerintahan yang sedang berjalan dibanding-bandingkan dengan pemerintahan yang sudah usai.
Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya menegaskan masing-masing era pemerintahan, memiliki tingkat kesulitan dan tantangannya sendiri.
“Sensitif saya tahu dan sebetulnya tidak bisa apple to apple ya, karena kecenderungannya sekarang ada pemerintahan yang masih berjalan dan ada pemerintahan yang sudah tidak berjalan,” ujarnya, Kamis (22/12/2022).
Baik era Jokowi atau SBY, Indonesia sama-sama diterpa krisis.
Namun krisis yang menerpa pun berbeda, bila di zaman SBY, Indonesia berusaha menggenjot produksi komoditi, yang berhasil dijalankan dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
“Pemerintahan SBY itu menjadi kontributor terbesar dari adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kenaikan harga batubara, minyak sawit, dan karet dan kita tahu kecenderungan ekonomi kita agak guncang setelah booming commodity-nya selesai,” terang pria yang akrab disapa Totok.
Sementara di era Jokowi, Indonesia terguncang akibat usainya ledakan komoditi, lalu diterpa pandemi dan ditambah adanya tantangan geopolitik Rusia dan Ukraina.
“Sementara pemerintahan Pak Jokowi menghadapi situasi pandemi dan geopolitik perang di Ukraina dan Rusia yang berpengaruh terhadap pangan dan energi terutama,” lanjutnya
Meski demikian, Totok tidak mampu menghalau pandangan masyarakat.
Sebab, hasil survei menyebut sebanyak 47,5 persen masyarakat menganggap pemerintahan Jokowi lebih baik.
“Kalau kita lihat 47,5% menyatakan lebih baik pemerintahan Jokowi dan 40,4% menyatakan lebih baik pemerintahan Pak SBY,” tuturnya.
Ia menjelaskan,survei tersebut dilaksanakan pada 8-16 Desember 2022, melalui wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur.
Adapun jumlah sampel sebanyak 1.220 responden yang tersebar di 34 provinsi.
Sampel dipilih menggunakan metode acak bertingkat (multistage random sampling) dengan margin of error ± 2,83 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
“Dan kalau kita lihat memang lebih banyak responden yang menyatakan dengan pertanyaan seperti ini perbandingan, terutama dikaitkan dengan bagaimana kemampuan pemerintah mengelola krisis,” pungkasnya. [Democrazy/Inilah]