DEMOCRAZY.ID - Demokrasi Indonesia melemah seiring dengan kondisi penegakan hukum yang tumpul.
LBH Jakarta menengarai kondisi ini terjadi sejak 2016 yang lalu, dan terus melorot secara bertahap.
Direktur LBH Jakarta, Citra Referandum menyebutkan, kondisi demokrasi dan hukum Indonesia sekarang ini paling buruk sejak Orde Baru.
Penurunan terjadi secara bertahap diiringi dengan serangkaian peristiwa yang menandakan tulinya pemerintah terhadap aspirasi publik.
“Kemunduran demokrasi yang ditandai dengan penurunan kualitas demokrasi secara bertahap dan terus berlangsung hingga saat ini dapat mengakibatkan jatuhnya Indonesia pada otokrasi atau rezim otoriter,” kata Citra di Kantor LBH Jakarta, Rabu (21/12/2022).
Dia menyebut indeks demokrasi Indonesia menunjukkan kecenderungan mundurnya demokrasi yang konsisten dalam beberapa tahun terakhir.
Adapun indikator yang menunjukkan pelemahan indeks demokrasi ialah proses pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, fungsi pemerintah, partisipasi politik, dan budaya politik.
Dia merujuk pada data The Economist Intelligence Unit pada 2021 yang menyebut demokrasi Indonesia berada pada skor 6,71 dari skala 0-10.
Ada kenaikan tipis dibanding 2020 yang mendapatkan 6,30 poin. Namun angka tersebut menunjukkan bahwa kualitas demokrasi Indonesia masih buruk karena berada pada peringkat 52 dari total 167 negara yang diuji.
“Meski sedikit merangkak naik di tahun 2021, Indonesia masih dianggap sebagai demokrasi yang tak sempurna oleh The Economist Intelligence Unit, kemunduran demokrasi di era Jokowi telah mendekatkan posisi Indonesia ke kategori rezim hibrida,” tutur Citra.
Sementara Rule of Law 2022 yang dirilis World Justice Project (WJP) mengungkapkan bahwa kondisi hukum Indonesia tidak mengalami kemajuan sejak enam tahun lalu.
Indeks negara hukum Indonesia menurut WJP pada 2022 sebesar 0,67, turun dari 2020 dengan skor 0,68. Indonesia berada pada peringkat 68 dari 139 negara yang disorot.
Citra mengingatkan indikator lemahnya kondisi hukum di Indonesia yakni maraknya korupsi, persoalan ketertiban dan keamanan, sistem peradilan perdata, sistem peradilan pidana, serta penegakan regulasi dan pemerintahan terbuka.
“Akses regresi demokrasi dirasakan dampaknya dalam aspek penegakkan hukum dan hak asasi manusia,” ujarnya.
Menurut dia, LBH Jakarta menangani kasus yang menunjukkan ketidakadilan akibat pengelolaan negara yang makin jauh dari prinsip demokratis, negara hukum dan HAM.
Total LBH menerima permohonan bantuan hukum dari 1.034 masyarakat dengan total jumlah pencari keadilan mencapai 12.447 orang.
“Berbagai kasus yang diadvokasi LBH Jakarta dalam kurun waktu 2022 ini menjadi bukti hadirnya gejala pemimpin legalistic autocrats dalam praktik pemerintahan Presiden Joko Widodo yang membawa pada signifikasi kemunduran demokrasi dan negara hukum Indonesia saat ini,” pungkas Citra. [Democrazy/Inilah]