DEMOCRAZY.ID - Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menyoroti terkait terjadinya kecelakaan yakni anjloknya kereta teknis proyek Kereta Cepat Jakarta – Bandung (KCJB) di Bandung pada Minggu (18/12).
Hal itu ditanggapi Achmad Nur Hidayat dalam tayangan di channel YouTube pribadi miliknya.
Dalam tayangan itu, Achmad Nur Hidayat menilai bahwa kecelakaan tersebut memang lantaran proyeknya dari awal terkesan dipaksakan.
"Saya kira karena sejak awal dipaksakan ini tentunya karena code on code proyek ini terkesan bukan bottom up tapi top bottom," ungkap Achmad Nur Hidayat dikutip dari tayangan di channel YouTube pribadi miliknya, Jumat (23/12).
Diketahui bahwa tender yang awalnya dimenangkan oleh Jepang justru dialihkan ke China dan hal itu berdasar pada kesepakatan antara dua pemimpin negara, yaitu Presiden Indonesia (Joko Widodo) dan Presiden China Xi Jinping.
Akan tetapi, menurut Achmad Nur Hidayat, justru pada realisasi proyeknya banyak ketidakprofesionalan yang terjadi seperti dalam hal pembiayaan yang tidak konsisten, salah perencanaan, dan yang terbaru yaitu kecelakaan kerja.
"Jadi dua pemimpin antara Indonesia dengan Presiden China itu bersepakat jadi top down proyek ini. Dan apa yang terjadi? Ternyata dalam realisasi proyek ini sangat tidak profesional," tegasnya.
Oleh karena itu, karena terkesan dipaksakan sejak awal, Achmad Nur Hidayat pun tak tanggung-tanggung menyarankan agar proyek Kereta Cepat dibatalkan saja.
"Saya ingin mengatakan bahwa karena memang proyeknya sudah terkesan dipaksakan, memang lebih baik proyek ini (Kereta Cepat) dibatalkan saja," tandasnya.
Empat Alasan Kuat Proyek Kereta Cepat Merugikan Keuangan Negara
SEJAK awal, proyek kereta cepat Jakarta Bandung, atau sebut saja Kereta Cepat China, sudah menuai banyak masalah.
Pada awalnya, biaya proyek kereta cepat China dibuat lebih murah dari pesaingnya, Jepang, sehingga terpilih sebagai pemenang proyek.
Jepang menawarkan biaya proyek kereta cepat 6,2 miliar dolar AS. Sedangkan China pada awalnya menawarkan 5,57 miliar dolar AS, yang kemudian membengkak menjadi 5,98 miliar dolar AS, dan membengkak lagi menjadi 6,07 miliar dolar AS. Entah mengapa, Indonesia menerima semua ini.
Pertanyaannya, apakah penawaran awal 5,57 miliar dolar AS hanya sebagai upaya memenangi proyek, tetapi harga yang sebenarnya adalah 6,07 miliar dolar AS? Kalau memang seperti itu maka penawaran dari China dapat dianggap sebagai manipulasi atau kecurangan proyek?
Selain itu, di lihat dari sisi pembiayaan, penawaran Jepang sebenarnya jauh lebih menarik.
Jepang menawarkan suku bunga pembiayaan (pinjaman) yang sangat murah, hanya 0,1 persen per tahun, jauh lebih murah dari suku bunga pinjaman yang ditawarkan China, yaitu 2 persen per tahun, atau 20 kali lipat lebih mahal dari pinjaman Jepang.
Terlepas dari itu semua, faktanya, China telah memenangi proyek kereta cepat.
Masalahnya, proyek tidak kunjung selesai dan biaya proyek juga membengkak terus. Tidak tanggung-tanggung, biaya proyek diperkirakan membengkak lagi sekitar 2 miliar dolar AS, menjadi 8,1 miliar dolar AS.
Tetapi, berdasarkan audit BPKP pembengkakan biaya proyek kereta cepat ditetapkan 1,68 miliar dolar AS, menjadi 7,55 miliar dolar AS.
Buntut dari itu semua, konsorsium Kereta Cepat Indonesia China minta konsesi kereta cepat diperpanjang (dari 50 tahun) menjadi 80 tahun. Dikabarkan, pemerintah sedang mempertimbangkan untuk memberi perpanjangan konsesi ini.
Berdasarkan semua fakta di atas, terindikasi pemilihan proyek Kereta Cepat China ini sudah merugikan keuangan negara. Ada empat alasan untuk itu:
1. Komponen biaya bunga
Kalau biaya bunga pinjaman masuk dalam evaluasi biaya proyek, maka kereta cepat Jepang seharusnya lebih murah.
Sehingga, pemilihan proyek kereta cepat China, yang secara total lebih mahal dari Jepang, sudah mengakibatkan kerugian keuangan negara. Baca:
2. Pembebanan pembengkakan biaya proyek 1,68 miliar dolar AS
Siapa yang menanggung pembengkakan biaya proyek? Kalau ini merupakan kesalahan kontraktor, maka harus menjadi tanggung jawab kontraktor, dan tidak boleh dibebankan ke pemilik proyek (joint venture), yang apabila dilakukan maka akan menjadi kerugian keuangan negara.
3. Dana talangan pembengkakan biaya proyek 1,68 miliar dolar AS
Pertanyaannya, siapa yang menalangi pembengkakan biaya proyek selama ini? Sepertinya uang dari pihak China maupun kredit dari Bank belum turun.
Apakah artinya pihak Indonesia yang menalangi pembengkakan biaya proyek, dengan menggunakan APBN?
Karena ini adalah proyek joint venture, maka dana talangan dari pihak Indonesia, apalagi kalau pakai APBN, merupakan kerugian keuangan negara?
4. Penambahan konsesi menjadi 80 tahun
Dalam kondisi apapun, waktu konsesi tidak boleh ditambah, karena ini merupakan kesepakatan pelaksanaan tender proyek sejak awal bersama pesaing Jepang.
Penambahan waktu konsesi menjadi 80 tahun berarti menguntungkan pihak lain, dan merugikan pendapatan negara dari hak konsesi.
Melihat indikasi dan potensi kerugian negara yang sangat besar dan begitu jelas, mengapa pihak yang berwenang, terutama KPK dan DPR, terdiam saja? Apakah keduanya sudah di bawah cengkeraman kekuasaan? [Democrazy/NW]