DEMOCRAZY.ID - Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengusulkan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa maju kembali sebagai calon presiden (capres) pada Pilpres 2024 mendatang.
Hal tersebut menurutnya sebagai solusi untuk menghindari potensi tensi panas yang bakal terjadi di 2024.
Penyataan Qodari itu menyusul adanya pernyataan dari Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet yang memandang penyelenggaraan Pemilu pada 2024 perlu dihitung kembali.
Sebab kata dia, agenda besar tersebut memiliki banyak potensi.
Awalnya ia mengatakan, dalam menghadapi tensi panas 2024, Bamsoet cenderung miliki solusi perpanjangan masa jabatan dengan didahului dengan penilaian kembali penyelenggaran Pemilu 2024.
"Artinya, Pemilu 2024 itu mundur lah katakan lah, saya nggak tahu berapa tahun karena ada rencana 3 tahun misalnya begitu. Nah kalau saya solusinya adalah pak Jokowi itu boleh maju untuk periode ketiga dan itu artinya amandemen ya menurut saya ini solusi yang lebih fleksibel," kata Qodari saat dihubungi, Jumat (9/12/2022).
Menurutnya, solusi yang ditawarkannya tersebut tidak perlu menunda Pemilu.
Ia menilai 2024 nanti pemilu tetap akan digelar dengan Jokowi dapar kembali berkontestasi.
"Tidak menunda Pemilu karena legitimasi pemerintahan hari ini memang sudah habis pada 2024 yang akan datang bulan Oktober dan legitimasi itu hanya bisa diperbaharui dengan cara pemilihan kembali pemilu lagi. Karena legitimasi itu berasal dari rakyat dan kembali oleh rakyat," tuturnya.
Kemudian yang kedua, kata dia, Pilpres 2024 nanti merupakan eskalasi konflik polarisasi ekstrim politisasi identitas dari Pipres 2014, Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019.
Ia mengatakan, untuk memimpin negara seluas Indonesia diperlukan waktu yang panjang.
Ia lantas mengatakan, bahwa kekinian sistem politik di Indonesia terbolak-balik dimana seorang kepala desa yang memimpin unit pemerintahan paling kecil justru memiliki masa jabatan tiga periode, sementara presiden hanya dua periode.
Menurutnya, masa jabatan presiden sampai kepala desa harus di paralelkan atau diseragamkan.
"Kenapa saya sebut terbolak-balik kepala desa yang memimpin unit terkecil pemrintahan sangat kecil ya itu masa jabatan kepala sudah tiga kali dan tiap masa jabatan 6 tahun jadi hemat saya sih paralel bahwa masa jabatan preiden tiga kali enam tahun 18 tahun itu baru kalau memang presiden," tuturnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, nantinya jika seorang kepala negara memimpin tiga periode berkinerja bagus, maka akan diapresiasi oleh rakyat.
Namun, jika berkinerja buruk maka tidak perlu maju kembali dalam pemilu selanjutnya.
"Mengenai kekhawatiran masa jabatan teelalu lama dan presidennya itu buruk ya buruk kalau lama kasian bangsa indonesia menurut saya kalau presidennya buruk rakyat tidak puas jangankan tiga periode gitu dua periode juga tidak akan terjadi karena di pilpres berikutnya rakyat tak akan memilih dia lagi rakyat akan memilih kandidat yang lain," katanya. [Democrazy/suara]