DEMOCRAZY.ID - Maluku Utara (Malut) yang kondang provinsi kaya nikel, ternyata tak mampu membuat rakyatnya sejahtera. Jumlah warga Malut yang kurang gizi cukup besar.
Semua karena China leluasa angkut nikel ke negaranya. Luput dari pajak dan kewajiban lainnya.
Ekonom Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra menyebutkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2021, menyatakan, sebanyak 70 persen warga Malut tidak dapat mengakses makanan bergizi.
Tentu saja, kemiskinan membuat mereka tak mampu membeli makanan bergizi.
“Angka untuk provinsi Maluku Utara itu, jauh dari angka nasional (Indonesia) sebesar 57 persen. Artinya apa, garis kemiskinan di sana tinggi sekali,” ungkap Gede, Jakarta, Jumat (9/12/2022).
Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng) punya cadangan nikel luar biasa, Gede menyebut, bukan jaminan rakyatnya sejahtera.
Karena, nikel di Halteng saat ini, bukanlah pemerintah. Akan tetapi para pengusaha China.
“Maluku Utara kaya nikel buat apa kalau rakyatnya banyak yang kurang gizi. Hal yang sama terjadi pula di Sulawesi Tenggara, kaya nikel tetapi rakyatnya kurang gizi. Di Sultra jumlahnya 64 persen. Agak lebih baik ketimbang Maluku Utara,” kata Gede.
Sebelumnya, pengusaha Mardigu Wowiek Prasantyo atau Bossman Mardigu, melalui akun YouTubnya, meneceritakan sebuah desa bernama Desa Lelilef di Halteng yang saat ini banyak berdiri perusahaan tambang China. Di desa yang pernah dikunjungi 10 tahun lalu, kini banyak dihuni pekerja China.
“Kondisinya beda dengan 10 tahun lalu. Di mana, Lelilef menjadi kota tambang, kota nikel yang luar biasa sibuk. Lebih kaget lagi, wajah penduduk Lelilef, sangat berbeda. Bukan lagi manusia lokal yang saya lihat 10 tahun lalu,” tuturnya.
Selanjutnya dia menyebut salah satu perusahaan tambang China bernama Tsingshan Holding Group.
Ini bukan perusahaan ecek-ecek. Di China, Tsingshan adalah perusahaan tambang baja dan nikel terbesar.
Menurut hitung-hitungan Mardigu, Tsingshan sedikitnya memboyong 800.000 ton nikel dari Desa Lelilef ke China, melalui pelabuhan pribadinya.
“Isi kepala seorang Bossman yang bodoh ini, langsung menghitung,” tandasnya.
Kalau diasumsikan harga nikel sebesar US$23 ribu per ton, padahal pada Maret 2022, harga nikel sempat menclok di level US$50 ribu per ton, angka totalnya ketemu Rp34 triliun.
“Wis kita asumsikan 23 ribu dolar AS per ton. Maka Tsingshan itu mengirimkan NPI atau nikel pig iron berkadar 12 persen nikel, maka rumus sederhananya 800.000 ton dikalikan 23 ribu dolar AS dikalikan 12 persen. Didapatkan sekitar Rp34 triliun. Sebuah angka yang dahsyat,” bebernya.
Anggap saja, lanjut Mardigu, ada 4 atau 5 perusahaan tambang nikel China memboyong nikel dari Desa Lelilef, yang kalau dirupiahkan setara Rp50 triliun.
“Ini dahsyat sekali angkanya untuk ukuran sebuah desa di Halmahera,” ungkapnya.
Ini yang miris. Dalam 3 tahun terakhir, perputaran uang sebesar Rp50 triliun, tidak memberikan perubahan signifikan untuk Desa Lelilef.
Jangankan kesejahteraan rakyat, pembangunan pun boleh dibilang nihil. Tak ada pembangunan rumah sakit besar, mal atau pusat perbelanjaan, perumahan karyawan industri. [Democrazy/Inilah]