DEMOCRAZY.ID - Siapa yang berpesta pora menikmati kekayaan nikel di Indonesia?
Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri secara terbuka menyatakan China paling dominan menguasai sumber daya alam (SDA) nikel Indonesia.
Hal itu terjadi karena kebijakan Presiden Joko Widodo yang melarang ekspor nikel mentah.
“Anda tahu akibat bijih nikel dilarang (ekspor), 95 persen bijih nikel dipakai untuk perusahaan China. Dikasih harga, kan gak ada harganya. Harga di Shanghai US$80, pemerintah resmi menetapkan (harga) buat China itu US$35. 95 persen produknya diekspor ke China,” kata dia dalam keterangannya, Jumat (4/11/2022).
Faisal juga mempertanyakan dan menyampaikan dampak buruk dari kebijakan itu termasuk soal China yang bebas bayar pajak (ekspor nikel).
Dia pun mengklaim kritiknya sudah sampai di sidang kabinet Jokowi.
“Ini saya sudah sampaikan ke mana-mana. Bahkan (dibahas) ke sidang kabinet, ratas (rapat terbatas),” kata Faisal.
Faisal lantas mempertanyakan apa yang didapat oleh rakyat Indonesia dari kebijakan tersebut.
Dia justru heran karena berkali-kali kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel disampaikan ke publik.
“Kebohongan luar biasa itu. Kita, maksudnya rakyat Indonesia dapat apa. China yang dapat Rp450 triliun itu. Jadi jangan main-main urus negara, Pak Jokowi,” imbuh Faisal.
Transparansi Penerimaan dari Hilirisasi Nikel
Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mendesak Pemerintah Indonesia untuk transparan terkait dengan penerimaan negara yang bersumber dari hilirisasi nikel.
Pasalnya, klaim pemerintah bahwa terjadi kenaikan penerimaan negara dari Rp15 triliun menjadi Rp350 triliun sangat janggal dan meragukan.
“Kita meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit kebenaran data penerimaan negara dari program hilirisasi nikel ini,” tegas Mulyanto dalam keterangannya Kamis (20/10/2022).
Mulyanto menduga angka tersebut bukan penerimaan negara melainkan total nilai ekspor nikel oleh perusahaan smelter asing yang ada di Indonesia.
“BPK harus dapat memastikan berapa nilai penerimaan negara sebenarnya dari program hilirisasi nikel. Sebab angka yang disampaikan Pemerintah terlalu bombastis dan tidak masuk akal,” tegas Mulyanto.
Mulyanto juga meminta pemerintah tidak main-main soal akurasi data penerimaan negara ini, sebab angka ini akan mempengaruhi laporan keuangan negara.
Oleh karenanya Ia berharap pemerintah transparan dan dapat menjelaskan besarnya penerimaan negara dari hilirisasi nikel agar masyarakat tidak salah tafsir.
“Jangan-jangan angka itu bukan penerimaan negara namun sekedar angka ekspor nikel yang dilakukan oleh industri smelter asing, yang keuntungannya terutama dinikmati oleh investor smelter tersebut. Dan sama sekali, bukan merupakan penerimaan negara. Ini kan beda jauh tafsirnya,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah perlu menjelaskan soal ini secara gambling, dari sumber apa penerimaan negara tersebut berasal.
Karena, selama ini industri smelter bebas dari pajak ekspor atau bea keluar. Penerapan pajak ekspor produk hilirisasi nikel setengah jadi (NPI) akan berlaku pada tahun 2022.
“Itu pun baru rencana. Sementara mereka juga mendapat insentif pembebasan pajak atau tax holiday (pph badan) selama 25 tahun. Tidak pula membayar pajak pertambahan nilai (ppn). Dan karena tidak menambang dan hanya membeli ore dari penambang dengan harga murah, maka industri smelter tidak membayar royalti tambang sepeserpun,” paparnya.
Bahkan kata dia, pekerja yang didatangkan dari luar negeri ditengarai tidak menggunakan visa pekerja, melainkan berstatus turis, dan merupakan tenaga kerja kasar. Hal ini kembali menggerus penerimaan negara.
“Jangan-jangan dengan fasilitas insentif fiskal dan non-fiskal yang super mewah untuk program hilirisasi nikel yang ada ini malah merugikan kas keuangan negara,” katanya.
Karena itu Politisi Fraksi PKS ini mendesak Pemerintah melakukan evaluasi komprehensif program hilirisasi nikel ini sebelum berlanjut pada hilirisasi tambang lainnya seperti timah dan bauksit.
“Harus clear dahulu road map tahapan industri dan produk hilirisasinya, sehingga diharapkan benar-benar tumbuh industri dengan nilai tambah tinggi dan dengan multiplier effect yang besar bagi masyarakat. Jangan sekedar hilirisasi yang menjadi subordinat proses industrialisasi di China, yang mengeskpor produk setengah jadi dengan nilai tambah rendah,” pungkasnya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menyampaikan dalam Pembukaan Investor Daily Summit 2022, Selasa (11/10/2022), bahwa hilirisasi industri mampu meningkatkan hasil ekspor Indonesia.
Dia mencontohkan, nilai ekspor komoditas nikel bertambah dari Rp15 triliun menjadi Rp360 triliun setelah proses hilirisasi.
Menurutnya, Indonesia ketiban durian runtuh hingga mencapai Rp 360 triliun melalui hilirisasi nikel menjadi barang bernilai tambah.
Oleh karena itu, untuk mengulang kesuksesan pelarangan ekspor nikel, Presiden Jokowi juga akan melarang ekspor timah, bauksit hingga tembaga. [Democrazy/AsiaToday]