DEMOCRAZY.ID - DPR RI dan pemerintah telah sepakat akan mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada akhir tahun 2022.
Namun, dalam draft RKUHP terbaru masih memuat pasal bermasalah yang dianggap sebagai pasal karet.
Salah satu pasal bermasalah yang patut disoroti adalah Pasal 188 draft RKUHP. Pasal ini masuk ke dalam bagian Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara.
Pasal 188 menyebutkan bahwa "setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun."
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur menilai Pasal 188 RKUHP ini sangat berbahaya bagi kebebasan berpikir.
"Ini teman-teman yang kritis, punya paham keagamaan yang berbeda, dituduh sana-sini, dituduh menyimpang. Kena pidana 4 tahun lagi. Gila!" ujar Isnur dikutip dari akun Twitternya @madisnur, Jumat (25/11/2022).
Dia menyebut bahwa pasal tersebut sebagai pasal karet karena berpotensi mengkriminalisasi warga negara yang dituduh bertentangan dengan Pancasila.
"Pasal sangat karet. Sangat bisa dipakai untuk mengkriminalkan siapapun yang dituduh bertentangan dengan Pancasila," tegasnya.
Pasal 188 Rancangan KUHP terbaru
— Muhamad Isnur (@madisnur) November 25, 2022
"Setiap Orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau PAHAM LAIN YANG BERTENTANGAN DENGAN Pancasila di muka umum... dipidana penjara 4 tahun"
Ini apaa ini
Kok bisa begini?
Bahaya banget..#semuabisakena pic.twitter.com/7GQDDzcpFm
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif meminta pihak yang tidak puas dengan pengesahan RKUHP agar melalukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kalau ada warga masyarakat yang merasa hak konstitusional dilanggar pintu mahkamah konstitusi terbuka lebar-lebar," kata Edward kepada awak media di Gedung DPR RI pada Kamis (25/11).
"Dan di situlah kita melakukan perdebatan hukum yang elegan dan saya kira bermartabat di situ," sambung Pakar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada (UGM) tersebut. [Democrazy/populis]