DEMOCRAZY.ID - Nadirsyah Hosen alias Gus Nadir dikenal sebagai seorang akademisi yang getol membela Presiden Jokowi.
Melalui cuitannya, ia seringkali menampik anggapan buruk warganet soal sanjungannya itu.
Namun kali ini berbeda. Gus Nadir tampaknya mulai berdamai pada keadaan.
Melalui akun instagram miliknya, ia mengomentari maraknya tuduhan politik identitas pada pihak tertentu jelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
Ia mengatakan, dalam kontestasi politik, tentu sebuah hal yang lumrah jika membawa nuansa kompetisi.
Sehingga, ia menyebut kelompok pendukung seorang kandidat (Capres) dengan alasan identitas adalah hal wajar.
“Dukung-mendukung menjadi hal yang lazim. Anda dukung kandidat A dengan alasan identitas apapun (se-agama, se-daerah, se-ormas, se-almamater atau se-ide) adalah sebuah keniscayaan,” ujarnya melalui keterangan di unggahan instagram, Minggu (13/11/2022).
Gus Nadir menyebut yang lebih berbahaya dari kontestasi politik bukanlah politik identitas. Melainkan politisasi identitas yang dimainkan oleh pendukungnya.
“Anda pilih kandidat B karena agamanya (Islam atau Kristen atau lainnya) dalam demokrasi itu sah,” tulisnya.
Namun, lanjutnya, hal yang tak diperbolehkan adalah memaksakan seseorang untuk memilih kandidat tertentu. Misalnya, seseorang yang tak mau sejalan disebut dengan kafir.
“Atau “yang dukung kandidat C maka mayatnya tidak akan dishalatkan” atau “yang tidak mengikuti pilihan anda maka tidak boleh lagi ke gereja anda”. Ini yang tidak boleh,” tulisnya.
Ia pun merevisi sebutan politik identitas dengan politisasi SARA.
Katanya, siapapun boleh memakai identitasnya dalam berpolitik, termasuk agama. Namun, ia menggaris bawahi supaya para pendukung tak melakukan politisasi identitas.
“Silahkan pakai identitas anda dalam berpolitik, tapi jangan mempolitisirnya sehingga bisa menimbulkan kebencian dan perpecahan sesama anak bangsa,” pungkas dia.
Tak banyak yang memberi komentar tak menyenangkan dalam unggahannya itu. Justru warganet berujar sepakat.
“Setuju prof pengalaman 10 tahun lalu begitu menyebalkan agama menjadi tdk sangat solutif malah jadi alat penghancur kebersamaan,” tulis akun @belajar****.
“Betul. Tempat ibadah jd ajang kampanye. Yg ga sepaham, diancam mayatnya ga akan disolatin. Pernah terjadi berapa taun lalu. Pilkada paling brutal,” ujar akun @rini*****. [Democrazy/KJ]