DEMOCRAZY.ID - Presiden Jokowi mengklaim bahwa Indonesia mendapatkan bonus dari penjualan bijih nikel akan tetapi hal tersebut dibantah oleh DPR yang mengungkapkan fakta bahwa China lah yang menikmati hasilnya.
Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin ikut berkomentar tentang perbedaan pendapat antara Presiden dan DPR tersebut. Ia mengungkapkan bahwa ini suatu hal yang tidak masuk akal.
Apabila terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah dan legislatif harus diusut untuk mencari kebenarannya.
“Dari sini berarti tidak sinkron antara ucapan Presiden dan DPR dan ini harus diusut siapa yang salah dan benar karena memang dari dulu pertambangan itu banyak mafianya bahkan minta perlindungan sama penguasa khususnya istana,” jelas Ujang saat dihubungi, Sabtu (12/11).
Lebih lanjut, Ujang menegaskan apabila benar, ungkapan DPR bahwa China yang menikmati hasil dari Nikel tersebut maka sangat bahaya buat bangsa Indonesia dan klaim Jokowi tidak benar.
“Saya sebagai akademisi harus objektif menilai ini jika benar katakan benar dan jika tidak ya katakan tidak, intinya harus dicari siapa yang mempunyai kebenaran dengan kepastian yang kuat,” katanya.
Menurutnya, urusan tambang ini bisa jadi dinikmati oleh China karena faktanya sampai saat ini banyak wilayah pertambangan masih dikuasai oleh perusahaan asing khususnya China.
Olehnya itu, sambungnya, apa yang disampaikan DPR itu kemungkinan ada benarnya juga.
“Banyak faktanya dilapangan, anak-anak muda kita hanya sebagai penonton sedangkan perusahaan asing khususnya China tadi bebas mengeruk perut bumi kita,” tutupnya.
Sebelumnya, anggota Komisi VII DPR RI Rofik Hananto mempertanyakan klaim pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi bahwa pelarangan ekspor bijih nikel akan menguntungkan Indonesia.
Kenyataannya, jelas Rofik, malah menguntungkan China sebagai salah satu konsumen utama impor nikel dari Indonesia.
Presiden Jokowi mengatakan keuntungan hilirisasi nikel yang awalnya sekitar 15 triliun akan bertambah menjadi US$20,9 miliar atau Rp360 triliun.
Namun, Rofik mengatakan sebenarnya hal tersebut merupakan dampak dari harga komoditas yang naik saat ini serta jumlah penambangan nikel yang meningkat.
Sehingga, keuntungan yang dibanggakan tersebut menjadi tidak bermakna.
“Apalagi dikaitkan dengan proses nilai tambah dalam proses pemurnian nikel tersebut. Tanpa mengungkapkan cerita yang utuh dan lengkap, sangat sulit menilai bahwa hilirisasi nikel ini sudah berhasil,” ujar Rofik, Kamis (10/11).
Rofik menuding keuntungan yang sebenarnya digembor-gemborkan oleh pemerintah dinikmati oleh China, bukan untuk rakyat Indonesia sebagai pemilik sumber daya alam tersebut.
Hal itu berdasarkan beberapa fakta di lapangan, ungkap dia, antara lain sebagian besar bijih nikel di Indonesia, kurang lebih sebesar 95 persen, diolah oleh perusahaan smelter China yang beroperasi di Indonesia.
Menurutnya, industri China membelinya dari penambang dengan harga murah, dikarenakan harga patokan mineral dalam negeri yang kurang dari setengah harga nikel internasional.
“Pemerintah hanya menetapkan harga bijih nikel $34 per ton, sementara di Pasar Shanghai harganya mencapai $80 per ton. Industri smelter China ini juga tidak membayar royalti tambang sepeserpun karena mereka tidak menambang langsung,” tutur anggota DPR RI Dapil Jateng VII tersebut.
Selain itu, lanjut dia, faktor pemerintah memberikan insentif berupa pembebasan pajak atau tax holiday (PPh badan) selama 25 tahun.
Hal ini, menurut Rofik, juga turut menguntungkan pihak lain dan bukan kita sendiri.
“Ini artinya rakyat kehilangan kesempatan menikmati pendapatan tambahan dari nikel miliknya selama 25 tahun. Selain itu juga tidak perlu membayar pajak pertambahan nilai (PPN), padahal jelas-jelas mereka di sini melakukan pengolahan yang menaikkan nilai tambah dan nilai tambah itu sepenuhnya diambil oleh mereka semua,” tegas Rofik.
Menurutnya, perusahaan smelter China juga sementara ini bebas dari pajak ekspor atau bea keluar karena belum diberlakukannya penerapan pajak ekspor produk hilirisasi nikel setengah jadi berupa Feronikel dan NPI (Nickel Pig Iron).
“Selama belum diberlakukan maka selama itu pula kita kehilangan potensi penerimaan,” ujar Rofik.
Terakhir, Rofik mengungkapkan industri smelter China ini juga sebagian besar memanfaatkan tenaga kerja berasal dari negara mereka dengan mayoritas bukan dengan visa kerja.
“Ini juga merugikan penerimaan negara dari pendapatan tarif visa serta dari sisi pajak PPh individu,” tutur Rofik.
Berdasarkan fakta tersebut, Rofik menegaskan betapa kecilnya angka Rp360 triliun tersebut dikarenakan masih banyaknya lubang-lubang yang menyebabkan bocornya kesempatan negara untuk mendapatkan pendapatan yang maksimal dari sumber daya alam yang dimilikinya.
Nikel yang dibanggakan hilirisasinya ini menurut Rofik ternyata dinikmati oleh segelintir kelompok dan memajukan industri negara lain, salah satunya China.
“Sudah saatnya pemerintah mendorong pembangunan smelter milik warga Indonesia sendiri yang akan meningkatkan nilai tambah bijih nikel tersebut, sehingga kue nikel ini benar-benar dinikmati oleh rakyat kita,” tutup Politisi PKS tersebut. [Democrazy/MI]