Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
RELAWAN himpun massa di Stadion GBK. Tujuannya tidak jelas, kecuali mendegradasi kehormatan presiden, seolah-olah menjadi pemimpin organisasi massa (ormas).
Relawan seolah-olah mau mengatakan bahwa survei Litbang Kompas, yang menyatakan hanya 15,1 persen rakyat yang masih mendengar perkataan atau arahan Presien Jokowi, salah.
Relawan sepertinya mau membuktikan ini lewat pengerahan massa. Tetapi, halusinasi tentu saja tidak bisa menghapus realita.
Pertemuan ini terlihat tidak ada makna sama sekali bagi rakyat. Karena tidak membicarakan hal substantif untuk kepentingan bangsa dan negara, apalagi kepentingan rakyat.
Maka itu, menghancurkan kehormatan Presiden. Malah terkesan relawan hanya cari muka saja, alias …. Maaf, saat ini, saya belum menemukan kata yang tepat.
Relawan mengundang Jokowi pidato. Di tengah pidatonya ada yang teriak tiga periode. Cukup berani menyela pidato presiden, seperti diskusi di RT/RW saja. Apa karena memang sesuai skenario, harus ada yang teriak tiga periode?
Anehnya, Jokowi sepertinya menikmati. Tertawa mendengar teriakan tersebut. Mungkin merasa lucu, atau mungkin juga menikmatinya. Cuma Jokowi yang paham makna tertawanya.
Seperti juga sebelum-sebelumnya, di mana Jokowi juga terlihat begitu menikmati usulan perpanjangan masa jabatan presiden atau usulan Jokowi tiga periode.
Usulan seperti ini hanya mencoreng kehormatan seorang presiden. Karena ini bertentangan dengan konstitusi, bertentangan dengan UUD. Relawan macam apa yang minta presiden melanggar konstitusi, kalau (mereka itu) bukan mau menghancurkan kehormatan presiden?
Perpanjangan masa jabatan presiden atau tiga periode seharusnya dilupakan. Jokowi selesai 2024, menjadi histori saja. Tidak perlu dibicarakan lagi.
Karena, perpanjangan masa jabatan presiden atau tiga periode hanya bisa dilakukan dengan cara ‘Kudeta Konstitusi’. Artinya, mereka harus mengubah konstitusi untuk kepentingan penguasa sekarang.
Sedangkan yang harus melakukan ‘kudeta konstitusi’ adalah MPR. Yang harus melakukan pekerjaan kotor tersebut adalah MPR. Karena yang bisa mengubah konstitusi hanya MPR, yang mayoritas anggotanya terdiri dari anggota DPR, yang merupakan perwakilan partai politik.
Artinya, tugas kotor mengubah masa jabatan presiden harus dilakukan oleh parpol. Mereka menghadapi risiko besar berhadapan dengan perlawanan dari rakyat, yang secara jelas akan membela konstitusi dan kepentingan bangsa dan negara dari gerombolan pengacau perebut kedaulatan rakyat, yang bisa memicu terjadi Revolusi Jilid II pasca Revolusi Jilid I 1998.
Maka itu, dapat dipastikan, tidak ada partai politik yang mau menjadi martir (relawan) Jokowi.
Partai politik saat ini sedang menikmati puncak kekuasaan, jangan sampai kekuasaan ini direnggut hanya untuk membela kepentingan pribadi (relawan) Jokowi.
Parpol lebih baik mencari mainan (boneka) baru dengan sistem konstitusi yang berlaku saat ini, yang pastinya lebih menguntungkan bagi partai politik. Maka itu, jangan sampai dirusak.
Semoga relawan jangan terlalu banyak berhalusinasi. [FNN]