DEMOCRAZY.ID - Banjir bukanlah masalah baru di ibukota. Tetapi dalam lima tahun terakhir, terlihat hasil nyata atas upaya penyelesaiannya yang akan terus dilakukan secara berkelanjutan.
Secara geografis, wilayah Jakarta dikelilingi 13 sungai, sehingga potensi banjir akan selalu ada.
Namun, selama lima tahun terakhir, Pemprov DKI Jakarta berupaya meningkatkan penanganan banjir secara signifikan.
"Siaga, Tanggap, Galang" menjadi pegangan teguh seluruh jajaran Pemprov DKI Jakarta dalam mengantisipasi banjir di Jakarta.
Hasilnya, genangan surut lebih cepat dan jumlah titik banjir berkurang walau terjadi curah hujan ekstrem.
“Sistem drainase kota Jakarta memiliki ambang batas. Kapasitas tampungan drainase DKI Jakarta berkisar 100-150 mm/hari. Karena itu, apabila turun hujan dengan curah di bawah 100 mm/hari, maka kita harus memastikan Jakarta aman dan curahan hujan dapat tertangani dengan baik," kata Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, seperti dikutip dari Siaran Pers PPID DKI Jakarta, Sabtu (8/10).
Di sisi lain, apabila curah hujan ekstrem berada di atas angka 100 mm/hari, mau-tidak mau air akan tergenang, terjadilah banjir.
Pada 2020, tercatat curah hujan terekstrem 377 mm/hari. Namun, banjir dapat surut lebih dari 95 persen genangan dalam waktu 96 jam.
Surutnya banjir ini tercatat lebih cepat dari kejadian banjir di tahun-tahun sebelumnya.
Seperti yang terjadi pada 2015, di mana dengan curah hujan yang lebih rendah yakni 277 mm/hari, 95 persen wilayah tergenang baru dapat surut dalam waktu 168 jam.
Jika ditarik lebih mundur lagi, pada 2007, terjadi hujan ekstrem dengan curah hujan tercatat 340 mm/hari, jumlah RW yang tergenang sebanyak 955 RW dan 270.000 lebih warga mengungsi.
Sedangkan, pada 2020, dengan curah hujan 377 mm/hari, jumlah RW yang tergenang dan warga yang mengungsi lebih sedikit, yakni 390 RW tergenang dan 36.000 warga mengungsi.
Hal ini menandakan dampak banjir di Jakarta semakin terkendali.
Dalam pengendalian banjir, Pemprov DKI Jakarta telah melakukan berbagai program yang tidak berorientasi pada betonisasi.
Salah satunya, program Gerebek Lumpur di 5 wilayah Kota Administrasi, yakni kegiatan pengerukan lumpur yang dilakukan secara masif di danau, sungai, waduk di Jakarta.
Kegiatan ini untuk membantu mengurangi proses pendangkalan dengan mengerahkan alat berat berskala hingga 3 (tiga) kali lipat dari kapasitas biasanya.
Selain itu, Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta turut membuat kolam olakan air guna mengantisipasi dan menampung genangan air sementara di jalan raya saat hujan tiba, yang kemudian akan dialirkan ke sungai atau laut.
Selain itu, memperbaiki saluran air, mengintensifkan instalasi sumur resapan atau drainase vertikal, mengimplementasikan Blue and Green yaitu taman yang menjadi kawasan tampungan air sementara saat intensitas hujan tinggi, penyediaan alat pengukur curah hujan, dan perbaikan pompa.
Pemprov DKI Jakarta memiliki 475 unit pompa stasioner dan 429 unit pompa mobile.
Kapasitas pompa pun meningkat 54 perseb dalam 10 tahun terakhir, yakni total kapasitas pompa saat ini sebesar 129 m³.
Kini, Pemprov DKI Jakarta tengah fokus menuntaskan program 942 project, meliputi 9 polder (suatu sistem untuk menangani banjir rob yang terdiri dari kombinasi tanggul, kolam retensi dan pompa), 4 retensi air (waduk), dan 2 sungai.
Dengan rehabilitasi 9 polder, dapat menurunkan dampak banjir di dataran yang lebih rendah di Jakarta Utara, seperti Teluk Gong, Kelapa Gading, Muara Angke dan lainnya.
Sementara, 4 waduk di Pondok Ranggon, Lebak Bulus, Brigif, dan Embung Wirajasa akan mereduksi banjir pada sistem aliran Kali Sunter, Kali Krukut, Kali Grogol dan wilayah Cipinang-Melayu yang juga berfungsi sebagai penampung air.
Kelebihannya, baru dialirkan ke laut. Selain itu, dilakukan pula peningkatan kapasitas dua sungai, yaitu Kali Besar dan Kali Ciliwung.
Semua Langkah ini untuk mengendalikan banjir kawasan. Terbukti, 12 titik genangan banjir berulang pun telah teratasi.
Selain berfokus pada infrastruktur, Pemprov DKI Jakarta juga terus berinovasi dengan teknologi.
Flood Control System, hasil kolaborasi Jakarta Smart City dan Dinas Sumber Daya Air, adalah salah satu ikhtiar agar penanganan banjir ke depan semakin mengikuti prinsip evidence based policy.
Kelebihan Flood Control System adalah pemetaan masalah banjir yang lebih akurat serta pengelolaan resiko banjir yang lebih terukur.
Untuk mendapatkan data secara real-time dalam jumlah yang lebih banyak dan reliable, Pemprov DKI Jakarta memasang sensor di 178 titik rumah pompa dan pintu air serta CCTV.
Alat-alat ini mengukur empat jenis data, yaitu ketinggian air, curah hujan, debit air, dan temperatur.
Data yang sudah terkumpul selanjutnya dianalisis dan divisualisasikan dalam bentuk dashboard.
Lalu, memanfaatkan machine learning untuk menafsirkan data.
“Nah, dua langkah tadi, sensing dan understanding ini sangat penting. Yang awalnya dilakukan secara manual, kini real-time. Yang awalnya terbatas, kini datanya melimpah. Sehingga, monitoring penanganan banjir lebih efektif. Petugas-petugas di lapangan dapat melakukan penanganan banjir secara lebih cepat. Kami berpandangan ini adalah progres dan akan terus kami tingkatkan,” demikian Anies. [Democrazy/rmol]