DEMOCRAZY.ID - Polri menetapkan enam tersangka dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang yang menewaskan ratusan orang termasuk suporter Arema FC.
Penetapan tersebut disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo usai tim investigasi melakukan serangkaian penyidikan.
"Enam tersangka," ujar Kapolri saat gelar konferensi pers di Mapolres Malang Kota, Kamis (6/10).
Dari keenam tersangka tersebut, salah satunya Ahkmad Hadian Lukita yang menjabat sebagai Direktur LIB.
"AHL, Yang bertanggung jawab terhadap tiap stadion untuk memiliki sertifikat layak fungsi, tapi saat menunjuk (Stadion Kanjuruhan), persyaratan belum dicukupi," ujar Kapolri.
Tersangka kedua yakni Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris dan tersangka ketiga yakni Security Officer Arema Suko Sutrisno.
Sementara itu, tiga tersangka lain yakni dari unsur kepolisian.
"Saudara H, anggota Brimob Polda Jatim. Yang bersangkutan memerintahkan anggota untuk menembakkan gas air mata," ujar Kapolri.
Polri juga menetapkan tersangka kepada Kasat Samapta Polres Malang, BS, yang turut memerintahkan penembakan gas air mata di dalam stadion.
"BS, Kasat Samapta Polres Malang memerintahkan anggota menembakkan gas air mata," kata Kapolri menegaskan.
Polisi terakhir yang turut menjadi tersangka yakni Wahyu SS selaku Kabag Ops Polres Malang.
"WS mengetahui terkait adanya aturan FIFA mengenai larangan gas air mata. Namun yang bersangkutan tidak mencegah atau melarang pemakaian gas air mata," tegas Kapolri.
Kapolri mengatakan tim investigasi telah memeriksa sebanyak 48 saksi. Dari sejumlah itu di antaranya sebanyak 31 personel Polri.
Kapolri: 11 Personel Polri Tembak Gas Air Mata saat Tragedi Kanjuruhan
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan ada 11 personel Polri yang menembakkan gas air mata saat tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Gas air mata itu ditembakkan ke tribun selatan dan utara.
Listyo menyampaikan tragedi diawali ketika ada beberapa suporter yang turun ke lapangan. Personel polisi kemudian bersiap untuk melakukan pengamanan.
"Penonton semakin banyak yang turun ke lapangan sehingga pada saat itu kemudian beberapa anggota kemudian mulai melakukan kegiatan-kegiatan penggunaan kekuatan, seperti yang kita lihat ada yang menggunakan tameng, termasuk pada saat mengamankan kiper Arema FC," ujar Sigit saat jumpa pers, di Malang, Jatim, Kamis (6/10/2022).
Sigit mengatakan polisi kemudian menembakkan gas air mata. Dia menyebut ada 11 personel Polri yang menembakkan gas air mata ke arah suporter.
"Terdapat 11 personel yang menembakkan gas air mata, ke tribun selatan kurang lebih 7 tembakan, tribun utara 1 tembakan dan ke lapangan 3 tembakan. Ini yang kemudian mengakibatkan para penonton terutama yang ada di tribun yang ditembakkan tersebut kemudian panik, merasa pedih dan kemudian berusaha meninggalkan arena," lanjut Sigit.
Dia mengatakan tembakan gas air mata itu untuk mencegah suporter semakin banyak masuk ke lapangan.
"Di satu sisi tembakan tersebut dilakukan dengan maksud untuk mencegah agar penonton yang kemudian turun ke lapangan itu bisa dicegah," katanya.
KAPOLRI: 20 Polisi Diduga Melanggar hingga Tembak Gas Air Mata
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah menetapkan 20 orang terduga pelanggar yang mengakibatkan terjadinya tragedi di Stadion Kanjuruhan.
Sebanyak 20 polisi itu terdiri dari pejabat utama hingga atasan pemberi perintah penembakan gas air mata.
"Terkait dengan pemeriksaan internal, kita telah memeriksa 31 orang personel. Ditemukan bukti yang cukup terhadap 20 orang terduga pelanggar," kata Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam konferensi pers di Malang, Jawa Timur, Kamis (6/10/2022) malam.
Ke-20 pelanggar itu terdiri dari polisi, dengan rincian dan inisial nama sebagai berikut:
4 polisi pejabat utama Polres Semarang:
- AKBP FH
- Kompol WS
- AKP BS
- Iptu BS
2 polisi perwira pengawas dan pengendali:
- AKBP AW
- AKP D
3 polisi atasan yang memerintahkan penembakan gas air mata:
- AKP H
- AKP US
- Aiptu BP
11 polisi yang menembakkan gas air mata di dalam Stadion Kanjuruhan
"Terkait temuan tersebut, tentunya setelah ini dengan segera akan dilaksanakan proses untuk pertanggungjawaban etik. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan, jumlah ini masih bisa bertambah," kata Sigit. [Democrazy/detik]