DEMOCRAZY.ID - Nama Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo sudah tidak asing di telinga warga Timor Leste.
Selain merupakan pemimpin gereja Katolik, ia juga dikenal sebagai salah satu tokoh nasional dan mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian bersama Jose Ramos Horta atas upayanya dalam menyelesaikan konflik di Timor Leste.
Baru-baru ini, muncul laporan yang menyebut Uskup Belo telah melakukan pelecehan seksual terhadap laki-laki.
Tuduhan ini langsung dilayangkan oleh korban-korban yang mengalami perlakuan tidak senonoh olehnya.
Dimuat De Groene pada Selasa (27/9), salah satu korbannya adalah Paulo, yang saat ini berusia 42 tahun.
Paulo mengaku pernah mengalami pelecehan seksual dari Uskup Belo pada tahun 1999.
Setelah menghadiri misa pada Minggu pagi di Dili, Paulo yang masih remaja, sekitar 15-16 tahun, diminta untuk datang ke kediaman Uskup Belo dan mengalami pelecehan.
Ia juga mengaku mendapatkan sejumlah uang dari Uskup Belo untuk menutup mulut.
"Saya pikir ini menjijikkan. Saya tidak akan pergi ke sana lagi," ujar Paulo yang enggan memberi identitasnya.
Sejak saat itu, Paulo tidak memberi tahu pengalaman buruk yang ia alami.
Namun apa yang dialami oleh Paulo juga dirasakan oleh Roberto, seorang pria yang saat ini berusia 45 tahun. Keduanya juga telah tinggal di luar negeri.
Tidak seperti Paulo, Roberto mengalami beberapa kali pelecehan seksual, berupa pemerkosaan, dari Uskup Belo.
Itu terjadi di tengah sulitnya hidup di Timor Leste di bawah kekuasaan Indonesia, sehingga uang yang didapat Roberto dari Uskup Belo cukup menjanjikan.
Bahkan ketika Roberto pindah ke Dili, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual pindah ke kediaman uskup di kota.
Di sana Roberto mengaku melihat anak-anak yatim piatu tumbuh di kompleks dan anak laki-laki lain yang dipanggil seperti dia.
Menurut Roberto dan Paulo, Uskup Belo mengirim orang dengan mobil untuk membawa anak laki-laki yang diinginkannya ke kediamannya.
"Uskup menyalahgunakan posisi kekuasaannya atas anak laki-laki yang hidup dalam kemiskinan ekstrem. Dia tahu bahwa anak laki-laki tidak punya uang. Jadi ketika dia mengundang Anda, Anda datang dan memberi Anda sejumlah uang. Tapi sementara itu Anda adalah korban. Begitulah cara dia melakukannya," ujar Paulo.
Paulo mengatakan, bungkamnya dirinya lantaran khawatir dan takut dapat berdampak buruk.
Gereja Katolik sendiri sangat dihormati di antara orang-orang di Timor Leste karena membantu orang dan menawarkan perlindungan di tengah kesulitan.
"Jika tuduhan terhadap Belo dipublikasikan, maka akan menghebohkan negara dan merusak perjuangan kemerdekaan," kata Roberto.
Sementara itu, berdasarkan penyelidikan dari De Groene, korban Belo jauh lebih banyak.
Sejauh ini, De Groene telah berbicara dengan 20 orang yang mengetahui kasus ini, termasuk pejabat pemerintahan, politisi, pekerja LSM, hingga jemaat gereja.
Lebih separuh dari mereka secara pribadi mengenal korban-korban Belo. Ada juga korban yang tidak mau mengungkap kisah kelam tersebut.
Lahir pada 3 Februari 1948 dari keluarga religius di dusun Wailacama, Timor Leste, Uskup Belo saat ini telah berusia 74 tahun.
Ketika dia berusia tiga tahun, ayahnya meninggal dan keluarganya menghadapi kehidupan yang sulit dalam kemiskinan.
Sejauh ini pihak Belo enggan memberikan komentar. [Democrazy/rmol]