POLITIK

Drama Jokowi 3 Periode Kembali Muncul, Komitmen Terhadap Reformasi Dipertanyakan!

DEMOCRAZY.ID
Agustus 31, 2022
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Drama Jokowi 3 Periode Kembali Muncul, Komitmen Terhadap Reformasi Dipertanyakan!

Drama Jokowi 3 Periode Kembali Muncul, Komitmen Terhadap Reformasi Dipertanyakan!

DEMOCRAZY.ID - Musyawarah Rakyat (Musra) yang digelar oleh 17 kelompok relawan Pro-Jokowi pada Minggu lalu (28/8) di Bandung, menjadi sebuah antiklimaks. 


Sebab, semua elemen relawan sepakat mendukung Presiden Joko Widodo melanjutkan masa jabatan hingga 3 periode.


Rangkaian acara yang sedianya memiliki agenda utama pejaringan nama Calon Presiden (capres) untuk diserahkan kepada Presiden Jokowi pada tahun depan, menurut Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi, tak perlu dilanjutkan lagi. Para peserta Musra sudah mencapai sebuah kesimpulan.


Presiden Jokowi sendiri tidak mempermasalahkan adanya wacana tiga periode, yang disebutnya sebagai bagian dari demokrasi. 


Jokowi menyetarakan wacana penambahan masa jabatan Presiden hingga tiga periode dengan wacana ‘ganti presiden’ yang pernah marak beberapa tahun lalu.


“Ini katanya negara demokrasi? Itu kan tataran wacana, enggak apa-apa, yang penting saya ingatkan dalam menyampaikan aspirasi  jangan anarkis,” ujar mantan Walikota Solo itu di Bandung.


Drama pengusulan agar Jokowi menjabat untuk periode ketiga itu dikritisi aktivis pro-demokrasi era 90-an, Raharja Waluya Jati.


Sekretaris Jenderal (Sekjen) di Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI) itu mempertanyakan komitmen kalangan aktivis politik maupun kelompok masyarakat sipil terhadap reformasi '98.


Salah satu tuntutan inti dari gerakan reformasi adalah pembatasan kekuasaan yang berpotensi eksesif. Khususnya yang berkaitan dengan masa jabatan Presiden.


“Saya ingin bertanya kepada teman-teman yang ada di partai politik, kelompok relawan politik, maupun kelompok masyarakat sipil. Apakah kita masih ingin meneruskan cita-cita reformasi, ataukah kita ingin mereformasi reformasi?” ujar Jati, melalui keterangannya, Rabu (31/8).


Salah satu korban penghilangan paksa oleh negara pada pertengahan '90-an itu berpendapat, kelenturan dalam pengaturan masa jabatan presiden justru bertentangan dengan keinginan publik untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan memperbaiki tata kelola negara.


Selama ini, kata Jati, praktik demokrasi yang berkualitas diyakini lebih memberikan dampak positif pada kehidupan masyarakat dan pencapaian kesejahteraan umum.


“Menkopolkam Mahfud MD baru-baru ini menyatakan bahwa demokrasi Indonesia mengalami kemunduran. Apakah kalangan aktivis politik dan kelompok masyarakat sipil membiarkan bahkan ikut mendorong praktek demokrasi kita semakin mundur?" sambungnya.


Di samping mengkritik wacana "Jokowi 3 periode" yang dianggap bertentangan dengan cita-cita reformasi, Jati juga menolak penyetaraan wacana penambahan masa jabatan Presiden dengan wacana "ganti Presiden".


Sebab, dua wacana itu dianggap memiliki kedudukan yang berbeda di mata konstitusi.


“Usulan ‘Jokowi 3 periode’ tidak konstitusional. Sementara usulan ‘ganti Presiden’ itu konstitusional. Karena penggantian Presiden diatur konstitusi. Namun, meskipun konstitusional, pengusung wacana beberapa tahun lalu tetap mendapatkan intimidasi dan represi,” demikian Raharja Waluya Jati. [Democrazy/rmol]

Penulis blog