DEMOCRAZY.ID - MeskiPilpres 2024 masih 2 tahun lagi, namun seolah sudah di depan mata.
“Saya bingung, sebenarnya pilpres itu kapan, sih? Koq kelihatannya kayak pekan depan pilpresnya,” komentar wartawan senior FNN Hersubeno Arief di Kanal Rocky Gerung Official, Kamis (30/6/2022).
Dalam dialognya dengan pengamat politik Rocky Gerung itu, banyak masalah yang dipertanyakan oleh Hersubeno Arief.
Bagaimana Rocky Gerung melihat persoalan politik dan sosial yang berkembang ini? Berikut petikannya:
Sebenarnya Pilpres itu kapan, sih? Kelihatannya kayak pekan depan ya?
Ya betul. Jadi seolah-olah itu suasana politik sudah di depan. Padahal dua tahun (lagi) itu segala macam bisa berlangsung di situ. Apalagi perubahan geopolitik, kesulitan ekonomi. Jadi membayangkan ada siklus normal di 2024 itu agak absurd.
Tapi, halang-menghalangi mulai dari sekarang. Jadi, kekacauan itu sudah mulai terjadi per hari ini, karena tidak ada harapan. Kalau ada harapan orang akan tahan-tahan, tertiblah, jangan sodok sini sodok sana dulu. Jadi memang keaadaan kita menunjukkan, orang ingin sebuah percepatan saja lebih baik. Karena itu, sindir-menyindir berlangsung, sprindik antar sprindik sudah mulai dikeluarin.
Macam-macamlah isu. Dan itu semuanya isu yang akan membakar kita pada keadaan jika kita tidak bersatu sebagai bangsa. Itu intinya. Jadi secara makro begitu, kecemasan menimbulkan kecurigaan, dan kecurigaan memaksa orang untuk saling intrik. Kan begitu politik.
Saya akan mengajak Anda membahas dua topik sekaligus, karena menurut saya sama-sama menariknya. Yang satu sangat menarik, tapi yang satu lagi mengenaskan.
Yang pertama soal sprindik. Tadi ada sebut karena ini mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi ini sudah dipanggil lagi oleh KPK berkaitan dengan E- KTP. Dalam soal E- KTP politisi dari empat penjuru angin bisa kena libas dan saling sandera Pilpres.
Yang berikutnya soal kabar meninggalnya para buruh migran kita di penjara Malaysia. Laporan dari koalisi buruh migran mencapai 149 orang. Tapi rupanya bukan hanya dalam satu peristiwa tapi rentang waktu tertentu, meskipun kemudian dibantah jumlahnya oleh Kemenlu hanya 25 orang.
Tetap saja itu jumlah yang sangat besar dan itu tragedi kemanusiaan, khususnya untuk keluarganya. Tapi kalau di luar negeri tentu itu tragedi bangsa. Kita mulai dengan soal sprindik Gamawan Fauzi.
Soal Sprindik Gamawan Fauzi
Ya, Pak Gamawan Fauzi sudah dihukum untuk soal yang sama dan sekarang ternyata betul, lokomotifnya sudah masuk bengkel, tapi gerbong itu ternyata masih panjang. Dan kita tahu bahwa semua partai ada di itu waktu skandal E-KTP.
Tetapi, dengan jelas orang mengasosiasikan pemanggilan Gamawan Fauzi itu adalah untuk menyeret Ganjar Pranowo, karena nama Ganjar yang pertama kali muncul setelah lama itu enggak terdengar makin ke sini nama Ganjar itu disebut lagi.
Dan itu bersamaan dengan konflik di PDIP, ketidakmampuan dari Presiden Joko Widodo untuk menetapkan bahwa penerusnya adalah Ganjar. Jadi, ini semua harus kita baca sebagai permainan politik tingkat tinggi saja untuk saling memeras. Itu intinya.
Tapi, tetap kita mau menuntut, masyarakat sipil memang menuntut dari awal supaya semua nama yang pernah masuk dalam Radar KPK dipanggil. Tidak bisa hanya karena sudah mengembalikan uang terus dianggap sudah selesai. Problemnya, kenapa dia kembalikan? Dan kenapa baru dikembalikan setelah mulai rame.
Jadi, balik lagi pada soal etika. Orang akan ingat apakah Ganjar jujur ketika itu. Kira-kira begitu. Walaupun kita tahu, yang dipanggil adalah Gamawan Fauzi, tapi terhadap apa. Kan Gamawan Fauzi sendiri sudah sudah clear masalahnya.
Tentu orang-orang di sekitar maslah E-KTP itu, semua partai terlibat di situ karena pembagiannya cukup merata. Jadi, kita dorong KPK untuk buka itu supaya benar-benar bersihlah. Ganjar itu kan kasihan, dia mau maju tapi terus ada info bahwa dia akan dipanggil KPK.
Karena itu Ganjar mungkin sekali lagi operasi supaya dia tidak dipanggil. Tapi ada kekuatan yang memaksa supaya sprindik dikeluarkan buat Ganjar. Kan begitu. Jadi kita hanya bisa menganalisis itu sambil menunggu keterangan resmi KPK.
Tapi karena kondisi politik sekarang ada ketegangan, tetap kita lihat bahwa yang disasar adalah Ganjar Pranowo yang adalah calon presiden. Disebutkan oleh Nasdem, PDIP, dan siapa saja.
Jadi, kita baca sekarang counterflow-nya yaitu datang dari mereka yang ingin sebetulnya melihat proses politik ini berantakan. Dan, mereka senang kalau ada politik yang berantakan.
Dan saya kira kalau Ganjar dilibatkan juga disebutkan oleh Setya Novanto. Jadi sangat mungkin juga Setya Novanto nanti akan dipanggil lagi karena ada kasus misalnya, kemarin kasus Garuda. Emirsyah Attar juga salah satu pengusaha yang dipanggil dan ditetapkan sebagai tersangka lagi.
Tapi kalau soal Gamawan Fauzi bagaimanapun juga kita pasti melihat ini kaitannya dengan Partai Demokrat. Apakah ini juga berkaitan dengan isu dan intrik-intrik ingin pembentukan koalisi Pilpres.
Ya, sinyalnya pasti begitu. Ganjar adalah sasaran utama, tapi nanti ekornya itu bisa mengimbas ke Demokrat karena pada waktu itu memang demokrat yang berkuasa dan Gamawan Fauzi adalah menterinya SBY.
Jadi, sekali lagi, soal yang seolah-olah biasa saja kriminal, di dalamnya ada elemen politik yang tinggi. Ini yang kita sebut black market of justice. Jadi, pasar gelap keadilan di sini. Kalau keadilannya terbuka ya dari dulu dong proses.
Siapa di Demokrat yang masih terkait dengan soal Gamawan Fauzi; siapa yang di PDIP; siapa yang di semua partai; di mana Ganjar ketika itu. Jadi, jangan dicicil seolah-olah akan jadi tagihan politik ketika menjelang Pemilu. Itu yang buruk sebetulnya. Tapi ya sudah.
Karena sudah dibuka maka lakukan, supaya semua pihak merasa lega bahwa hambatan-hambatan untuk membentuk koalisi tidak lagi dihalangi oleh isu-isu politik. Itu sebetulnya kejelasan.
Walaupun kita tetap menganggap bahwa semuanya tidak ada gunanya kalau nol persennya tidak diucapkan, karena itu sinyal pertama. Tapi, bahan bakar politik musti diajukan hari-hari ini. Nah, Gamawan Fauzi adalah bahan bakar yang bagus untuk membakar Ganjar, Demokrat, PDIP, dan segala macam.
Nah, di ujungnya kita mau lihat ini permainan siapa? Karena, kita nggak bisa percaya lagi kalau KPK itu punya semacam intensi yang sekadar soal kriminal. Di dalamnya pasti ada intensi politik, dan faksi-faksi di KPK tentu dari awal kita tahu bahwa ya KPK yang sekarang adalah mainan politik.
Karena soal ketegangan antar partai politik, isu di dalam DPR waktu memilih komisaris, lalu ada masalah Novel Baswedan yang kemudian sampai sekarang juga terkatung-katung statusnya, walau sudah resmi dikeluarin, tapi dianggap masih memegang sprindik.
Jadi banyak hal sebetulnya di dalam KPK yang memungkinkan siapapun bisa masuk ke KPK untuk mencari-cari cara mensprindikkan seseorang.
Oke, sebetulnya gampang banget kok membacanya, kenapa sih kasusnya tidak dituntaskan pada waktu itu? Kenapa tidak waktu ramai? Itu mencerminkan ada tarik-menarik kekuasaan pada waktu itu; ini memang sengaja disimpan sebagai sandera, politik sandera. Kita tahu semua kok.
Makanya ada temen kita yang menyebutnya bahwa sekarang ini politisi-politisi kita masih menjadi pasien rawat jalan dari KPK. Jadi tinggal nanti sekali waktu seperti dokter bilang ini harus dirawat lagi, harus masuk, baru masuk.
Ini sebenarnya betul-betul tidak sehat. Kita bisa membayangkan nanti presiden sekualitas apa yang dihasilkan dari proses semacam ini. Tentu bukan orang yang terbaik, tetapi orang yang memang dikehendaki oleh oligarki.
Itu akhirnya politikal ekonomis dari Pilpres sekarang itu tidak sepenuhnya bisa kita anggap demokratis walaupun diterangkan bahwa ini agendanya demokrasi, tetapi isinya bukan demokrasi. Isinya ada kongkalingkong.
KPK sudah kasih sinyal dulu bahwa penyebab korupsi itu adalah karena presidential threshold 20% sehingga semua orang mencari tiket dan bayar mahal.
Jadi sebetulnya secara eksplisit KPK tahu bahwa 20% itu menghina demokrasi dan bahkan memungkinkan terjadinya korupsi yang di-backup oleh tema 20% itu. Jadi kalau misalnya itu yang terjadi mustinya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK juga datang sebagai lembaga untuk meminta judicial review, sama seperti LaNyalla (AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua DPD RI) yang sangat berani akan mengajukan judicial review atas nama lembaga.
Kematian Buruh Migran di Tahanan Malaysia
Oke kita ganti topik lain dan saya kira ini peristiwa yang mengenaskan. Kalau data dari koalisi buruh migran ini disebutkan ada 149 orang yang meninggal di tahanan imigrasinya Malaysia. Kemudian dibantah Kemenlu, itu hanya ada 25 orang.
Tapi, berapapun jumlahnya, menurut saya ini akan menjadi satu situasi yang sangat menyedihkan. Bagaimana sebuah negara tidak bisa melindungi orang-orang yang sering disebut sebagai pahlawan devisanya.
Dan orang-orang ini kalau dia bisa punya lapangan pekerjaan di Indonesia yang layak, mereka pasti enggak maulah pergi jauh-jauh meninggalkan anak istri dan keluarganya.
Iya, itu kalimatnya Deplu menghina, hanya 25 orang, karena takut disebutkan yang banyak. Kalau hanya 25, misalnya, kenapa nggak waktu masih 2-3 orang itu Deplu tidak bersuara. Kenapa dia musti tunggu 25 orang.
Nggak ada yang percaya pada Deplu sekarang. Orang percaya pada buruh migran karena mereka yang ada di depan memantau secara harian statistik kekerasan terhadap buruh migran kita.
Jadi, tetap orang anggap itu memang besar betul 141, sementara Presiden Jokowi menganggap bahwa itu kecil karena tugas saya adalah mendamaikan Rusia dan Ukraina. Kan itu jadi kontrasnya begitu.
Presiden Jokowi lagi memuji dirinya sendiri mampu mendamaikan Ukraina dengan Rusia, faktanya di tetangga kita, Malaysia, kejahatan kemanusiaan berlangsung tanpa sepengetahuan pemerintah. Pemerintah baru mulai heboh ketika laporan dari buruh migran.
Dan hebohnya itu bukannya melakukan protes diplomatik atau kirim tim, tapi langsung membantah enggak, hanya 25 doang. Hanya 25 tuh. Ini bagaimana cara berpikir Deplu. Banyak orang dungu memang yang tidak dalam posisi untuk melindungi citra pemerintah.
Kan mustinya Deplu bilang, iya dari awal kita tahu, tapi kami lakukan operasi diplomasi tersembunyi dulu. Ini tidak ada, tiba-tiba sekadar membantah soal jumlah. Ini bukan soal jumlah, tapi ini soal kejahatan yang dialami oleh buruh migran kita. Kejahatannya, bukan jumlah kejahatannya.
Itu meski cuma satu pun dia tidak melakukan proteksi. Jadi buruh migran kita tidak diproteksi di luar negeri oleh Deplu. Sedangkan di dalam negeri tidak diproteksi untuk lapangan kerja sehingga mereka harus berceceran, berkeliaran, menghadapi kekerasan di luar negeri.
Jadi pemerintah memang gagal memenuhi tugas yang diberikan konstitusi, yaitu melindungi orang miskin, pelihara fakir miskin. Itu benar nggak terjadi. Padahal negara bilang kami surplus Rp 400 triliun. Kalau surplus Rp 400 triliun kenapa orang masih cari kerjaan di luar negeri.
Jadi enggak ada tetesan dari masuknya uang ekspor komoditas kita ke APBN terhadap tenaga kerja dan lapangan kerja. Jadi dengan mudah sekali kita bisa tahu bahwa pemerintah ini pelit kok.
Dia cuma mau simpan uang itu untuk main politik, bukan untuk membela buruh migran dan bukan untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri supaya tidak ada buruh migran yang mengalami penderitaan, karena harus cari kerja keluar negeri.
Saya khawatir ini hanya fenomena gunung es karena ini kan di imigrasi Sabah. Padahal kita tahu banyak sekali buruh-buruh kita juga tersebar bukan hanya di Sabah. Saya kira di Kaula Lumpur juga banyak. Mestinya Deplu lebih proaktif, tidak hanya reaktif menanggapi apa yang terjadi di Sabah.
Tapi dengan ini menjadi momentum untuk masuk lebih jauh ke Malaysia. Tetapi karena profil politik luar negeri kita lemah, bahkan terhadap negara tetangga kita Malaysia pun kita tidak bisa berbuat terlalu banyak dalam menghadapi persoalan problem semacam ini.
Jadi ajaib. Mustinya Deplu bergembira atau membantu LSM buruh migran ini karena mereka lakukan perhitungan harian. Dan, ini ajaibnya itu, kaya’ Deplu memarahi LSM. Mustinya dia bilang, oke mungkin kita memang salah. Deplu, Anda benar. Mari kita sama-sama lakukan investigasi. Ini dia bantah duluan.
Jadi, ajaib negara memusuhi masyarakat. Masyarakat ini sedang membantu masyarakat lain yang mengalami ketidakadilan. Justru diomelin oleh Deplu. Ini betul-betul biadab. Ini orang meninggal dalam tahanan dan kemungkinan besar proses hukumnya itu buruk dan perlindungan hukumnya juga tidak diberikan, tetapi malah dikecil-kecilkan.
Sementara mereka yang secara voluntir, teman-teman aktivis buruh migran ini volunter, untuk membela tenaga kerja kita, eh malah dicurigai sebagai sekedar membesar-besarkan jumlah. Itu konyolnya Deplu kita. [Democrazy/FNN]