DEMOCRAZY.ID - Indonesia dianjurkan berkaca pada kasus Islamofobia yang kini menggerogoti negara India, soal pemenggalan kepala seorang penjahit beragama Hindu di Udaipur karena mendukung politikus partai berkuasa, Bharatiya Janata (BJP), yang menghina Nabi Muhammad.
Berbagai bentuk ujaran kebencian dan kebijakan pemerintah, termasuk di negara-negara bagian, kini India dilabeli dengan negara yang membenci Islam atau Islamofobia.
Pengamat politik, Rocky Gerung, mengatakan hal yang sama juga berpotensi terjadi di Indonesia mengingat Indonesia dan India sama-sama negara demokrasi.
“Banyak hal yang membuat kita berpikir ulang bahwa dunia memang sedang mengalami frustrasi, karena kesulitan ekonomi, disparitas antara kaya miskin itu lalu datang mereka yang masih berupaya untuk mengambil keuntungan dari keadaan itu dengan sinyal-sinyal yang justru memperparah berpecah terutama di dalam negeri kita karena ada isu Agama,” kata Rocky Gerung dalam wawancara dengan wartawan senior FNN Hersubeno Arief di kanal YouTube Rocky Gerung Offcial, Sabtu (2/7/22).
Melihat kemarin Indonesia juga digemparkan dengan penghinaan bukan hanya Nabi Muhammad tetapi Bunda Maria juga di dalam Promo dari Hollywings, namun untungnya kita cepat menangani itu meskipun pada awalnya mau digoreng-goreng ini berkaitan dengan langkah Anies Baswedan menutup 12 cabang outlet Hollywings di Jakarta.
India sering disebut sebagai negara demokrasi nomor satu, nomor dua dan segala macam tetapi di dalam berkehidupan kebudayaan yang disebut sebagai communities could tidak mungkin kita hilangkan yang disebut politik identitas dan demokrasi.
Rocky mengingatkan bahwa kasus Islamofobia di India yang disebabkan pergolakan demokrasi juga bisa terjadi di Indonesia karena pemburukan demokrasi yang terjadi di Indonesia.
Selain itu, menurutnya demokrasi Indonesia juga dihalangi, di mana kemampuan kita untuk mengevaluasi diri itu justru dihalangi oleh mereka yang tidak menginginkan terciptanya semacam percakapan public, kalau percakapan publik macet maka terjadi percakapan komunitas itu yang disebut kasak-kusuk, diskusi yang saling kirim untuk saling ngomporin.
“Nah ini sebetulnya intinya yang seringkali dalam teori kita sebut sebagai politik identitas tapi sebetulnya di belakang itu ada permainan kartel bisnislah atau agama, yang mencari cara untuk menimbulkan sebut aja ketidak legaan berwarganegara di Indonesia itu makin terasa,” ujar filsuf jebolan Universitas Indonesia itu. [Democrazy]