DEMOCRAZY.ID - Penerus Presiden Joko Widodo di tahun 2024 mendatang punya beban berat menanggung utang negara yang menumpuk.
Posisi utang Indonesia bisa dikategorikan mengkhawatirkan.
Demikian dinyatakan Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah, Minggu (10/7).
Menurut Dedi, kondisi mengkhawatirkan Indonesia saat ini adalah beban utang yang membesar.
Ia mengaku khawatir meski pemerintahan Joko Widodo memiliki dalih bahwa kemampuan negara dalam menanggung utang masih kuat.
"Beban ini sekaligus menjadi momok penerus Jokowi, seolah Jokowi tidak miliki persoalan, padahal masalah itu akan muncul d kemudian hari," demikian kata Dedi.
Mengacu data APBN Kita, per Juni posisi uang Indonesia hingga bulan Mei 2022 tercatat berada di kisaran Rp 7.002, 24 triliun.
Rinciannya, utang pemerintah berupa surta berharga negara (SBN) menyentuh angka Rp 6.175,83 triliun.
Sementara itu, untuk pinjaman sebesar Rp 825 triliun lebih dan pinjaman dalam negeri di angka Rp 14,72 triliun.
Tidak hanya itu, untuk utang luar negerinya sebesar Rp 811,67 triliun.
Bukan Utang yang Menumpuk, Rezim Jokowi Bisa Tumbang karena Krisis Sembako dan Energi
Kemungkinan Presiden Joko Widodo jatuh seperti Presiden Sri lanka Gotabaya Rajapaksa bisa dikatakan susah meski utang Indonesia saat ini sudah mencapai lebih dari 7 ribu triliun.
Demikian pendapat Direktur Eksekutif Lanskap Politik Indonesia, Andi Yusran saat ditanya peluang nasib Jokowi apakah serupa dengan Rajapaksa, Minggu malam (10/7).
Menurut Andi, angka utang Indonesia yang tinggi tidak akan berdampak pada peluang kejatuhan rezim.
Alasannya, pemerintah punya argumentasi masih dalam batas toleransi jika dibandingkan dengan cadangan devisa.
"Artinya peluang jatuhnya Jokowi sebagai imbas dari utang yang kemudian berdampak kepada people power adalah relatif kecil," demikian kata Andi.
Justru kata Doktor Politik Universitas Padjajaran ini, persoalan yang berpeluang menjatuhkan rezim Jokowi dari kekuasaan adalah imbas dari krisis harga kebutuhan pokok dan energi yang akhir-akhir ini merangkak naik.
Analisa Dosen Universitas Nasional ini, ketidak percayaan publik terhadap rezim makin menguat jika pemerintah tidak segera menstabilkan harga-harga kebutuhan pokok dan energi (BBM dan listrik).
"Pemerintah (Jokowi) harusnya berkaca kepada rezim orde baru tumbang diawali dengan kenaikan harga kebutuhan pokok terutama energi waktu itu," pungkas Andi. [Democrazy]