DEMOCRAZY.ID - Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan pentingnya menindak tegas influencer atau buzzer porvokatif yang memperkeruh situasi untuk mencegah polarisasi yang meruncing sejak Pilpres 2019.
Sebanyak 87,8 persen responden yang terlibat dalam survei menyatakan hal tersebut.
"Tentu pemerintah memiliki instrumen untuk memilah mana yang provokatif mana yang tidak sehingga bisa memberi iklim yang kondusif bagi demokrasi," tulis peneliti Litbang Kompas Gianie, seperti dikutip dari Harian Kompas, Senin (6/6/2022).
Kedua kubu pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2019 pun diminta menahan diri untuk tidak saling berkoemtnar di media sosial yang dapat menimbulkan kebencian atau kemarahan. Hal tersebut disampaikan oleh 90,2 persen responden.
Selain itu, upaya lain yang tergolong mudah dilakukan adalah mulai mengakhiri penggunaan istilah atau label "cebong" dan "kampret/kadrun" di dalam percakapan, baik di dunia maya atau dunia nyata. Sebanyak 84,6 persen responden mendukung hal tersebut.
"Saling percaya dan saling menghormati antarsesasama akan tumbuh bila siapa pun tidak menghakimi orang lain dengan kedua label tersebut," tulis Gianie.
Ia pun menilai, hal lain yang bisa dilakukan untuk mengakhiri keterbelahan adalah tidak membatasi jumlah calon presiden dan wakil presiden dalam kontestasi pemilu mendatang hanya representasi dari dua kubu yang saling berhadapan.
Sebagian besar responden, yakni sebesar 85,3 persen pun sepakat perlu dilakukan rekonsilisasi antara kedua kubu untuk membangun kembali kerekatan hubungan di antara anak bangsa.
"Keterbelahan jangan berlanjut di masa depan dan tidak perlu diwariskan ke generasi mendatang," tulis Gianie.
Adapun pada Pilpres 2019. tercipta dua kubu pendukung masing-masing pasangan calon, yakni pasangan calon Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Perang opini atau sekadar komentar bernada negatif antara kedua kubu yang dulu berseberangan itu pun masih terjadi hingga saat ini.
Adapun pengumpulan pendapat oleh Litbang Kompas dilakukan melalui telepon pada 24-29 Mei 2022.
Sebanyak 1.004 responden berusia minimal 17 tahun dari 34 provinsi diwawancarai.
Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi.
Adapun dengan metode ini, tingkat kepercayaan sebesar 95 persen, nirpencuplikan penelitian ± 3,09 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.
Meskipun demikian, kesalahan di luar pencuplikan sampel dimungkinkan terjadi. [Democrazy/kompas]