DEMOCRAZY.ID - Ketua SETARA Institute Hendardi mengatakan setelah orkestrasi kampanye 3 periode untuk jabatan presiden gagal atau tertunda menjadi agenda politik nasional, segera proses dan tahapan pemilu 2024 akan dimulai.
Aktor-aktor politik, katanya, telah dan akan terus berakrobat untuk memikat rakyat pemilih hingga hari pencoblosan tiba.
Ditambahkan, bukan hanya elit politik di luar pemerintahan, para menteri kabinet Presiden Jokowi juga memainkan peran politik sama.
Dikatakan pula, dalam waktu lebih kurang 2 tahun kedepan, "rakyat akan disuguhi sirkus politik yang nyaris tidak menyentuh kepentingan utama warga negara."
Di tahun politik seperti ini, kata Hendardi, seorang presiden, sebagai pemimpin nasional yang dipilih langsung oleh rakyat diuji integritasnya untuk tetap memimpin pencapaian misi bernegara yakni melindungi hak-hak warga negara, memajukan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan warga melalui berbagai program pembangunan yang telah dicanangkan.
Hendardi mengatakan dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (14/6/2022), "sangat memprihatinkan ketika Presiden Jokowi justru menjadi sentrum kegaduhan politik yang mengganggu pencapaian misi bernegara."
Hendardi juga berkata "setelah melalui tangan para pembantunya menjajakan gagasan 3 periode, Jokowi aktif menghadiri acara-acara kebulatan tekad dari berbagai kalangan, yang pada intinya meletakkan Jokowi sebagai praktisi politik yang tidak mencerminkan sikap kenegarawanan."
Hendardi menilai "Jokowi bahkan tampak menikmati keriuhan yang digelar Projo, HIPMI, bahkan diperayaan Hari Lahir Pancasila, di NTT, dengan melempar berbagai term ‘ojo kesusu’, ‘ojo dumeh’ dan lain sebagainya."
Hendardi menyebut bahwa obsesi Jokowi untuk menunjuk suksesor dirinya, yang oleh sejumlah pihak diarahkan pada Ganjar Pranowo telah mengikis kewibawaan lembaga kepresidenan.
Apalagi, kata Hendardi, calon suksesor itu belum teruji kepemimpinannya dalam menyejahterakan rakyat.
"Justru di tengah kontestasi semacam ini presiden seharusnya menjadi solidarity maker, mengefektifkan kepemimpinan dan menjadi wasit yang adil," katanya.
Hendardi juga menyebut kesibukannya menjalani profesi sebagai politikus mengakibatkan agenda-agenda pemerintahan Jokowi juga diabaikan para menteri-menterinya.
Sementara kebijakan-kebijakan baru yang diatur dengan regulasi presiden seperti Inpres Nomor 4/2022 tentang Percepatan Penanganan Kemiskinan Ekstrem, PP Nomor 23/2022 tentang Perubahan PP 45/2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan, justru semakin menggambarkan paradoks kepemimpinannya.
Dikatakan Hendardi, program percepatan kemiskinan sulit dijalankan karena ego sektoral para menteri yang tidak bisa didisiplinkan Jokowi.
Pendekatan penanganan kemiskinan juga sering berupa giat karitatif dalam bentuk bantuan-bantuan yang tidak akuntabel tanpa menyentuh aspek substantif akar kemiskinan, yakni ketidakadilan akses sumber daya, ketidakadilan akses atas tanah, ketidakadilan akses perbankan dan lain sebagainya.
Sementara terkait PP 23/2022, Jokowi salah satunya melarang direksi BUMN mencalonkan diri menjadi kepala daerah atau calon anggota legislatif.
Presiden dikatakan Hendardi tidak memahami bahwa membatasi hak asasi manusia itu harus berdasarkan UU.
Di sisi lain, Hendardi menyebut justru Jokowi membiarkan para komisaris BUMN yang terus berpolitik.
Bahkan, katanya, juga membiarkan Menteri BUMN terus menerus mempromosikan dirinya sebagai calon presiden dengan berbagai instrumen milik negara.
"Sementara Jokowi tidak berbuat apa-apa atas aspirasi yang menentang politisasi pengisian penjabat kepala daerah, agar sejalan dengan amanat Mahkamah Konstitusi," katanya. [Democrazy/suara]