DEMOCRAZY.ID - Pemerintah melarang ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya selama periode 28 April-23 Mei 2022.
Larangan ekspor tersebut langsung memangkas penerimaan Bea Keluar (BK) bulan lalu hingga lebih dari Rp 2 triliun.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, penerimaan Bea Keluar (BK) pada Mei 2022 tercatat Rp 1,25 triliun, atau turun 78% dibandingkan perolehan di April 2022.
Penerimaan BK tersebut adalah yang terendah dalam tahun ini. Penerimaan BK di bulan Mei bahkan tidak sampai setengah dari yang dikumpulkan pemerintah di bulan April.
Anjloknya penerimaan BK disebabkan merosotnya sumbangan CPO dan produk turunannya.
Perolehan bea keluar dari CPO dan produk turunnya pada Mei hanya mencapai Rp 637,7 miliar atau merosot 78% dibandingkan April 2022.
Secara nominal, pos ini berkurang hingga Rp 2,27 triliun. Padahal, sepanjang tahun ini, rata-rata penerimaan BK dari CPO dan produk turunannya menembus Rp 2,9 triliun.
Pada Mei, harga referensi CPO turun memang turun 7,28% (month to month/mtm) menjadi US$ 1.657,39 /MT.
Namun, pemerintah tetap memberlakukan tarif BK maksimal sebesar US$ 200/ton karena harga CPO sudah di atas threshold-nya.
Artinya, penurunan penerimaan BK murni karena anjloknya volume barang yang diekspor.
Dengan menghitung penurunan BK dari rata-rata sebesar Rp 2,9 triliun menjadi Rp 637 miliar pada Mei, maka ada potensi penerimaan yang hilang sekitar Rp 2,3 triliun. Angka ini jauh lebih tinggi daripada perhitungan pemerintah.
Akhir bulan lalu, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani memperkirakan pembatasan sementara ekspor CPO dan turunannya berdampak terhadap pengurangan pungutan bea keluar pada bulan Mei sekira Rp 900 miliar.
"Dari perkiraan kami, pembatasan sementara ekspor CPO dan turunannya ini paling tidak mengurangi sekira 1,6 juta ton ekspor CPO selama satu bulan. Sehingga dampaknya ke bea keluar sekira Rp 900 miliar," ujar Askolani dalam konferensi APBN Kita Edisi Mei 2022, Senin (23/5/2022).
Larangan ekspor CPO juga membuat kontribusi dari komoditas tersebut terhadap total penerimaan BK anjlok di bulan Mei, yakni sekitar 51%.
Bandingkan dengan kontribusi CPO di bulan April yang mencapai 77,5%.
Dari tiga kelompok CPO dan turunnya yakni bungkil dan kernel, CPO, dan turunan CPO, penurunan penerimaan terbesar terjadi pada kelompok turunan CPO.
Di bulan Mei, penerimaan BK dari kelompok turunan CPO hanya menembus Rp 420,3 triliun. Angka tersebut anjlok 83% dibandingkan pada April yang mencapai Rp 2,42 triliun.
Penerimaan BK dari kelompok CPO turun dari Rp 343,1 miliar pada bulan April menjadi Rp 187,5 miliar di Mei.
Sementara itu, penerimaan dari bungkil dan kernel turun dari Rp 139,6 milair di bulan April menjadi hanya Rp 30 miliar di bulan Mei.
"Penerimaan BK CPO dan turunannya secara bulanan turun dipengaruhi kebijakan larangan ekspor CPO & turunannya," tulis keterangan Ditjen Bea dan Cukai.
Penurunan juga terjadi pada penerimaan BK komoditas mineral. Penerimaan BK dari komoditas mineral seperti tembaga turun 28% menjadi Rp 579,89 miliar di bulan Mei dari Rp 804,07 miliar di bulan April.
Penurunan salah satunya dipengaruhi oleh berkurangnya ekspor tembaga yang dilakukan PT Freeport Indonesia.
Ekspor tembaga menyumbang penerimaan BK sebesar Rp 470,51 miliar di bulan Mei, turun dibandingkan di bulan April yang tercatat Rp 654,89 miliar.
Di bulan Mei, PT Freeport hanya mengekspor tembaga sebanyak 143 ribu ton sementara di bulan April mencapai 224 ribu ton.
Secara keseluruhan, penerimaan BK pada periode Januari-Mei 2022 mencapai Rp 15,92 triliun.
Angka tersebut naik 54% dibandingkan penerimaan Januari-Mei 2021 yang tercatat Rp 10,3 triliun. [Democrazy/cnbc]
Sumber: CNBC